Seperti
halnya masyarakat tradisional lain di Indonesia, Suku Sasak yang tinggal di
Pulau Lombok juga mengenal tradisi selamatan ketika usia kandungan calon ibu
pada kehamilan pertama berumur tujuh bulan atau umumnya dikenal dengan tujuh
bulanan. Tradisi tujuh bulanan dalam masyarakat Sasak disebut Bretes atau Bisoq Tian
.
.
Bretes
dalam bahasa Sasak artinya putus atau merupakan upacara daur hidup dalam
tradisi masyarakat Sasak yang aplikasinya dalam bentuk rowah (keselamatan). Kegiatan bretes
tidak dilakukan siang hari seperti pada umumnya, melainkan diselenggarakan hari
Kamis malam atau malam Jumat. Saat usia kehamilan tujuh bulan ini, secara
tradisional dianggap bayi yang dikandung sudah matang atau sudah bisa
dilahirkan. Artinya usia tersebut sesungguhnya bayi sudah siap lahir. Namun,
usia sembilan bulan adalah usia kehamilan yang dianggap benar-benar telah siap.
Tradisi Bretes dilakukan untuk menyiapkan calon
ibu dalam menghadapi proses melahirkan ketika saatnya tiba. Seluruh proses
kegiatan selamatan ini dikenal dengan nama rowah
bretes. Suasana islami dalam tradisi Bretes,
kental mewarnai tiap protes ritualnya.Hal ini disebabkan karena masyarakat suku
Sasak secara umum beragama Islam. Ketika calon ibu yang tengah mengandung itu
akan menjalankan prosesi Bretes, saat
mandi air bunga setaman atau bunga rampai, posisi duduknya menghadap ke arah
kiblat.
Usai
mandi dengan air bunga setaman yang dilakukan oleh dukun beranak – dalam
tradisi aslinya – calon ibu akan mengitari dukun beranak tersebut atau ibunda
dari calon ibu tujuh kali. Prosesi mengelilingi ini dilakukan sebanyak tujuh
kali seperti orang tawaf (ritual mengelilingi Ka’bah).
Selama
prosesi Bretes berlangsung, doa-doa
dari ayat suci Al-Quran terus berkumandang dalam zikir serakalan yang
mengiringinya. Namun, sebelum serakalan dimulai, dilakukan kegiatan membaca
Surat Maryam. Salah satu surat yang menggambarkan kemuliaan dan keluhuran
seorang ibu ketika melahirkan Nabi Isa A.S / Yesus., tanpa ayah secara nyata.
Zikir dan doa yang dilantunkan adalah untuk kebaikan dan kelancaran persalinan
yang akan dihadapi oleh calon ibu tersebut. Doa – doa tersebut sengaja
dikumandangkan untuk menyuntikkan keberanian, semangat dan dukungan psikis bagi
ibu menghadapi hari – hari “berat” sekaligus membahagiakan ketika melewati
proses melahirkan kelak.
Prosesi bretes diawali dengan menyiapkan air
yang akan dipakai untuk memandikan calon ibu. Air tersebutlah yang dimaksud
dengan air bunga setaman atau bunga rampai yang dikenal masyarakat Sasak
sebagai air kumkuman, yang akan
dipakai untuk ritual mandi bagi calon ibu. Air tersebut diambil dari sebuah
sumur atau jika ada mata air khusus yang biasa dianggap suci bagi masyarakat di
desa atau perkampungan tersebut. Ada juga yang memakai air yang diambil dari
tujuh mata air. Kesemuanya ini tergantung dari kebiasaan yang telah dilakukan
secara turun-menurun masyarakat tersebut. Tujuannya sama, memandikan si calon
ibu dengan air yang suci sehingga jauh dari bibit-bibit penyakit dan bersih.
Air kumkuman ini biasanya ditempatkan di
sebuah wadah yang terbuat dari tanah liat atau yang dikenal dengan gentong.
Bukan hanya air kumkuman yang
disiapkan, melainkan air bersih lain dari beberapa wadah lainnya sebagai
pembilas. Ketika melaksanakan ritual mandi air kumkuman, ada yang khas yang dilakukan masyarakat komunitas
masyarakat adat Sasak, yakni, selain si calon ibu duduk menghadap arah kiblat,
ia juga di dudukkan persis di bawah petirisan (pancuran yang ada pada tiap
sudut atap rumah tempat jatuhnya air hujan dalam volume yang lebih besar dari
lainnya, berupa sambungan atap genteng). Posisi duduknya membelakangi petirisan
tersebut.
Calon
ibu diguyur air kumkuman dari arah
belakang, seolah-olah air mandi tersebut langsung jatuh dari petirisan
tersebut. Selama prosesi adat bretes berlangsung,
selalu ada kemenyan yang dibakar dan ditempatkan di tengah-tengah acara
tersebut. Ini merupakan bagian dari menyemarakkan prosesi dengan mengharumkan
suasana. Juga merupakan bagian dari komunikasi masyarakat adat Sasak dengan
para leluhurnya. Masyarakat tradisional Sasak percaya ketika mereka
menyelenggarakan kegiatan semacam ini, para leluhurnya akan pulang dan
disumsikan mereka ikut menyaksikan segala prosesi ritual atau upacara adat
tersebut. Karena itulah, selama prosesi berlangsung, dalam rumah tempat
diselenggarakannya kegiatan disiapkan dulang (nare) berisi makanan yang dimaksudkan untuk “menjamu” para leluhur.
Menghormati leluhur namun tidak menyembahnya. Semacam bentuk komunikasi gaib
antara yang hidup secara nyata dengan yang tidak nyata.
Dalam
prosesi tersebut juga akan dibacakan kisah-kisah legenda Sasak atau yang
diambil dari cerita lontar Sasak seperti Angling Darma, yang menggambarkan
tentang seorang anak laki-laki yang hebat. Bentuk-bentuk dan cerita lontar dan
legenda ini diungkapkan dalam kegiatan bretes
adalah mengungkapkan pengharapan baik bagi si anak yang lahir kelak, sesuai
dengan tokoh-tokoh yang menjadi sentral dalam cerita tersebut.
Dalam
upacara bretes tidak hanya menyiapkan
mental si calon ibu, melainkan ada beberapa hal yang juga disiapkan untuk si
bayi yang akan lahir kelak. Misalnya menyiapkan sebuah kain khas yang ditenun
secara tradisional yang disebut kain tembasan.
Kain ini merupakan kain khusus untuk si bayi yang terbuat dari benang mentah
(kasar). Selain itu, dulunya, ada juga yang menggunakan umbaq kombong. Kain ini kelak akan menjadi “kawan” bagi si bayi
ketika sakit yang akan dipakai untuk menyelimuti. Tidak jarang, saat sakit
melanda bayi tersebut, kain ini akan direndam dan airnya diberikan kepada si
bayi untuk diminum.
Usai
prosesi mandi dengan air kumkuman di
bawah petirisan, calon ibu di-sembeq
(mengoleskan ramuan tertentu di kening seperti orang India) di tiap pergelangan
dan di sela dua alis. Mengolesnya dilakukan dari atas ke bawah. Maknanya untuk
memberikan rasa optimisme bagi calon ibu. Bahan untuk sembeq ini terbuat dari lekoq
(daun sirih), buah pinang yang disebut buaq,
gambir dan apuh mamaq (kapur sirih). Sembeq dilakukan oleh seorang belian (dukun atau “orang pintar” yang legalitasnya
diterima dalam masyarakat tradisi Sasak). Sembeq
yang dianggap paling afdol adalah yang dimamaq
atau dikunyah belian. Meskipun
demikian ada juga yang menumbuk halus bahan sembeq
tersebut menggunakan alat penumbuk. Sembeq
adalah akhir dari prosesi adat bretes.
Dalam
masyarakat tradisional Sasak juga mengenal pendidikan pre-natal (pra
kelahiran). Selain calon ibu tak lagi boleh bekerja semenjak mulai mengadung,
terutama menjelang masa-masa penantian melahirkan, calon ibu tidak
diperbolehkan sama sekali berkata-kata yang tidak sopan apalagi memaki-maki.
Namun, bukan berarti perempuan yang tidak mengandung boleh melakukan itu. Calon
ibu akan senantiasa diingatkan oleh orang disekitarnya untuk tidak melakukan
hal tersebut. Ini juga merupakan bentuk perhatian keluarga dan masyarakat
sosial bagi kebaikan calon ibu dan bayinya kelak.
Jika hal
tersebut dilakukan, dipercaya anaknya kelak juga akan terbiasa melakukan
hal-hal yang dilakukan oleh si ibu. Karena, dianggap secara langsung dapat
mempengaruhi mental anak dalam kandungan.
Beberapa
hal lain yang ditabukan dalam masyarakat Sasak, saat seorang perempuan
mengandung adalah suaminya tidak boleh memotong rambut sampai istrinya
melahirkan. Suami juga tidak boleh membunuh binatang. Bagi para tukang jagal,
biasanya akan menghentikan aktifitas menjagal ketika istri-istri mereka
mengandung. Mereka kembali menekuni profesi tersebut setelah istrinya
melahirkan. Masyarakat tradisional Sasak memiliki keyakinan yang kuat. Jika itu
dilanggar anak yang dilahirkan akan cacat.
Pendidikan
pre-natal tradisional semacam ini merupakan kearifan lokal yang terkandung
dalam tradisi bretes.
Sumber Tulisan :
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa, dan Mbojo.Penerbit : Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.
Sumber Tulisan :
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa, dan Mbojo.Penerbit : Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.
0 komentar:
Posting Komentar