BUDAYA SASAK : BESUNAT

            Dalam tradisi masyarakat Sasak, ketika anak berusia 9 atau 10 tahun, akan menjalani proses menjelang akil baliq yakni sunatan atau dalam bahasa Sasak disebut besunat. Istilah ini sama dengan masyarakat suku Samawa (Sumbawa). Besunat dilaksanakan untuk melengkapi proses daur hidup masyarakat Sasak seperti halnya masyarakat muslim umumnya.

            Memang tidak banyak perbedaan tradisi besunat dalam masyarakat Sasak dengan dua suku lainnya di NTB, yakni suku Samawa dan Mbojo. Kegiatan besunat dalam masyarakat tradisional Sasak, merupakan salah satu kegiatan yang membutuhkan persiapan yang cukup panjang. Karena penyelenggaraan besunat akan menjadi salah satu kegiatan besar yang melibatkan masyarakat sosial. Itulah sebabnya kegiatan ini dinamakan sebagai begawe nyunatan yang diimplementasikan dalam rowah (selamatan)

            Pada masa dahulu, persiapan rowah untuk begawe nyunatan ini dilakukan dalam waktu tahunan. Banyak hal yang disiapkan untuk itu, seperti bahan-bahan makanan hingga kayu api. Ada kegiatan menebang kayu dan memotong-motongnya menjadi kayu bakar yang biasanya dilakukan sebulan sebelum acara dimulai. Ini disebut renggih. Kegiatan persiapan pada H-7 biasanya disebut hari Penjaja, yakni hari-hari yang diisi dengan membuat jajanan tradisional Sasak seperti Tariq, Keranjan, Kali Adem dan kue-kue kering lainnya.

            Ada juga hari yang disebut pemotengan, yakni dilakukan pada H-3, hari untuk membuat tape khas Sasak yang terbuat dari beras ketan putih dengan jaje tujak yang terbuat dari ketan putih yang dimasak dan ditumbuk bersama dengan kelapa parut. Kegiatan pemotongan hewan yang akan dipergunakan sebagai lauk dalam kegiatan begawe ini dilakukan dari sore hingga malam hari. Dan pada subuh hari di hari H berlangsungnya inti dari begawe nyunatan ini, yakni hari di mana si anak disunat, dilakukan kegiatan ngendang, masak nasi pakai sublukan - cara masak khas Sasak di atas jangkih (tungku)

Ketika Hari-H Tiba, Beginilah Tata Caranya

            Tamu mulai berdatangan di pagi hari akan disajikan dulang (nare) penuh isi makanan ringan. Saat ini disebut bejaje-besedaq. Tamu disajikan panganan berupa kue-kue tradisional Sasak. Ini sebagai penghormatan awal tamu-tamu yang datang atau semacam ucapan selamat datang. Kegiatan berikutnya disebut benasiq, yakni kegiatan menyuguhkan tetamu dengan hidangan makan siang berupa nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Makan nasi dilakukan siang hari setelah para tamu melakukan kegiatan tahlilan atau berdoa bagi si anak yang akan disunat.

            Setelah waktu basedaq selesai dan sebelum waktu benasiq dimulai, akan masuk pada acara inti yakni mengarak anak menuju tempatnya akan disunat. Kegiatan arak-arakan ini disebut Ngaluq Praje. Anak duduk di atas juli jempane (tempat yang dibuat khusus, biasanya dengan banyak bentuk seperti binatang manok-manokan berbentuk ayam, sesingaan yang berbentuk singa atau kuda-kudaan yang disebut jayengrana - diambil dari tokoh wayang Sasak - juli jempane sebagai tempat duduk si anak yang akan disunat ini, dihias sedemikian rupa sehingga tampak meriah dan ramai. Ini dimaksudkan untuk memberikan nuansa kemeriahan demi membantu anak secara psikis agar siap menghadapi masa-masa sunatan ini.

            Si anak akan dibopong atau dalam bahasa Sasaknya diponggoq oleh beberapa orang layaknya seorang raja. Sebelumnya si anak telah dirias sedemikia rupa mengenakan pakaian khas Sasak di rumah kerabat yang letaknya jauh  dari rumah orang tuanya sebagai tempat penyelenggaraan sunatan. Arak-arakan biasanya berkesempatan melewati satu atau dua kampung, sebagai bentuk pengumuman bagi masyarakat. Selain itu, masa perjalanan yang cukup panjang melewati kampung ketika ia berada di tandu khusus dan diikuti oleh iring-iringan masyarakat yang disertai kesenian khas Sasak tersebut dimaksudkan juga sebagai penggembira bagi si anak yang akan disunat.

            Saat tiba dilokasi sunatan, si anak akan didudukkan pada sebuah berugak pepaosan yang sengaja dibuat dirumah orang tuanya tempat penyelenggaraan kegiatan tersebut. Namun, sebelum duduk di berugaq khusus tersebut dan masih berada di atas tandu juli jempane, si anak tersebut mengelilingi berugaq pepaosan sebanyak tujuh kali. Saat kegiatan ini berlangsung terus diiringi dengan kesenian yang menbuat suasana semakin meriah.

            Sunat secara tradisonal menggunakan tukang sunat yang memang telah biasa dan dipercaya dan dipercaya oleh masyarakat untuk melakukan hal tersebut. Tukang sunat dalam masyarakat Sasak adalah orang khusus yang menyunat si anak menggunakan sembilu atau pisau khusus. Biasanya mereka merupakan turun menurun sebagai tukang sunat. Penghormatan bagi tukang sunat ini, secara tradisional berupa hadiah yang disebut andang-andang berupa buaq liko' (buah pinang dan daun sirih), beras, dulang penamak, sejumlah uang dan lain-lain untuk dibawa pulang.

            Ketika disunat si anak didudukkan di atas buah kelapa hijau. Saat sunatan tiba, biasanya si anak akan takut. Namun, orang disekitarnya akan membacakan shalawat, serakalan dan takbir keras-keras untuk mengalihkan perhatiannya dan memberi pesan bahwa dia tak sendiri sekaligus memberikannya semangat.

            Darah akan mengucur  dari kemaluan si anak yang disunat dengan sembilu yang dilakukan dalam satu kali iris dengan kecepatan tinggi oleh juru sunatnya. Saat darah mengucur keras inilah, ayah dari si anak akan menggendong buah hatinya itu dengan tubuh tanpa baju, melekatkan kemaluan si anak yang mengucurkan darah ke pinggangnya seraya menggendong si anak hingga darah berhenti mengalir. Maka tubuh sang ayah khususnya di bagian pinggang akan terlihat berlumuran darah. Dan untuk menghibur si anak, kebiasaan masyarakat Sasak adalah dengan memberikan sejumlah uang padanya.

            Pengobatan tradisional pada anak usai disunat dimulai keesokkan harinya. Pagi-pagi, masih dengan iringan kesenian, si anak, diarak oleh keluarga dan diponggoq di atas juli jempane, diajak untuk berendam setengah badan di sungai untuk melemaskan kulit-kulit luka sunat. Dahulu sungai-sungai yang mengalir di Lombok adalah sungai dengan air yang jernih dan bersih. Kegiatan berendam ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut. Setelah direndam di air beberapa jam lamanya, luka sunat diobati menggunakan bubuk kopi yang dicampur putih telur dan bubuk batu kumbung. Jika luka sunat mulai terlihat bengkak akan diobati menggunakan buah pinang muda yang dihangatkan atau batu yang panas kena matahari. Luka sunat ini biasanya akan sembuh sekitar dua minggu.

            Inilah prosesi salah satu daur hidup dalam tradisi masyarakat Sasak yang berlaku di masa dulu. Beberapa hal masih tetap dipertahankan seperti kegiatan begawe yang melibatkan masyarakat sosial dalam bergotong royong saling membantu ketika kegiatan ini diselenggarakan. Kerjasama masyarakat hingga saat ini masih terlihat di pedesaan dan pedalaman pulau Lombok. Namun ada hal-hal yang juga mengikuti perkembangan jaman, seperti pengobatan yang telah menggunakan obat-obatan secara medis. Karena bagaimanapun, penting diperhatikan bahwa salah satunya, sungai tidak lagi bersih dan jernih seperti masa dulu. Kegiatan berendam di sungai, tampaknya tidak banyak dilakukan lagi bahkan mulai ditinggalkan.

Sumber Tulisan : 

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa, dan Mbojo.Penerbit : Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

0 komentar:

Posting Komentar