BUDAYA MBOJO : CAFI SARI

                Kebagiaan menerima anggota keluarga baru selalu dirayakan dengan berbagai kegiatan sebagai ungkapan rasa syukur akan kelahiran bayi dalam keluarga tersebut. Rangkaian kegiatan dalam menerima "tamu" baru itu, dalam tradisi masyarakat Mbojo, masih banyak dilakukan adalah Cafi Sari yakni kegiatan sederhana membersihkan bayi secara simbolik dari lumuran darah sesaat setelah bayi lahir. Hal ini biasanya dilakukan oleh dukun beranak atau di Dompu dikenal dengan nama Sando Nggando.

                Namun dalam perkembangannya, para keluarga melakukan kegiatan Cafi Sari ini selalu dirangkaikan dengan syukuran kelahiran sang bayi pada hari ketujuh atau setelah tali pusarnya jatuh atau dikenal dengan nama Mabu Woke.

                Sesungguhnya, Cafi Sari ini memiliki arti menyapu bale-bale. Menyapu juga dapat diartikan dengan membersihkan. Dalam bahasa Bima, Cafi Sari dalam hal ini mengadung arti membersihkan bale-bale dari kotoran serta darah ibu ketika melahirkan bayinya, agar rumah menjadi bersih dan menyediakan udara serta kondisi rumah yang baik bagi si bayi yang baru lahir. Masyarakat Mbojo tradisional, biasanya rata-rata memiliki bale bambu yang fungsinya sebagai tempat bersantai atau dulu, dipakai juga sebagai tempat melahirkan bagi para ibu. Bale bambu ini disebut dengan Sarangge. Di Sarangge inilah, bayi dilahirkan dibantu oleh Sando.

                Tradisi selanjutnya yang biasa dilakukan untuk bayi adalah ketika potong rambut yang biasanya dirangkaikan dengan aqiqah dan acara "turun tanah". Saat itu, telapak kaki bayi akan dibolehkan untuk bersentuhan langsung dengan tanah. Dalam prosesi tradisi ini, kaki bayi akan disentuhkan dengan tanah yang diambil dari tanah pada lingkungan masjid yang telah dihaluskan dan diletakkan padan daun pisang yang sangat muda yang baru keluar dari pucuk pohon pisang dalam keadaan masih melingkar, yang disebut Soro Kalo.

                Tanah yang diambil dari lingkungan masjid ini dianggap sebagai tanah suci, sebagai simbol bahwa bayi yang baru lahir itu dalam keadaan suci dan diperkenalkan dengan tempatnya nanti berpijak adalah tanah suci. Sekaligus sebagai simbol doa dari orang tua dan masyarakat sosialyang ikut terlibat dalam kegiatan ini, bahwa kelak bayi ini akan menjalani kehidupannya yang baik dan berjalan di jalan yang benar.

                Demikian pula dengan Soro Kalo, sebagai simbol kelahiran baru, belum sempat membuka daunnya dan masih sangat bebas dari kontaminasi lingkungannya. Sama artinya dengan bayi yang baru lahir, baru membuka mata, langsung menatap dunia yang penuh kebaikan. Sehingga dalam perjalanan hidupnya kelak, ia akan mengikuti hal-hal yang baik dan terhindar dari perbuatan dan hal-hal yang buruk.

                Injak tanah merupakan simbol, awal bahwa masyarakat suku Mbojo, mengajarkan bayi-bayi ini sebagai generasi penerus yang dapat berjalan pada jalan yang benar dengan harapan menanamkan rasa tanggung jawab untuk dapat menempatkan diri di mana pun ia berada untuk menjalani kehidupannya kelak. Di mana langit dijunjung, disitulah tanah dipijak. Peribahasa inilah yang secara tidak langsung menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Suku Mbojo, di Bima dan Dompu. Kemampuan beradaptasi dengan situasi dan keadaanlah yang diharapkan pada generasi penerusnya.

                Dalam tiap kegiatan tradisi dalam siklus hidup masyarakat Suku Mbojo, baik itu Kiri Loko, Cafi Sari, injak tanah, khitan, Saraso dan Peta Kapanca, selalu disertai dengan menghadirkan sesajian yang lengkap dari hasil bumi, panganan dan simbol-simbol lainnya seperti beras, padi , nasi , kelapa, buah-buahan, kue dan lilin serta lainnya. Ada pula periuk baru, kain kafan, benang putih dan sebagainya.

                Serangkaian sajian ini tidak  dimaknakan sebagai persembahan bagi kehidupan lain, melainkan sebagai simbol bahwa dalam kehidupan yang akan dijalani oleh bayi kelak atau anak-anak yang dikhitan maupun Saraso atau juga kepada calon penganten dalam Peta Kapanca, banyak sekali kekayaan bumi ini yang telah disiapkan oleh Sang Pencipta untuk kehidupannya kelak. Tinggal bagaimana kelak mereka dapat memanfaatkan kekayaan alam itu lewat tangan-tangan mereka yang bekerja di jalan yang benar dan diridhoi. Ini merupakan simbol ikhtiar dari yang berhajatuntuk memperkenalkan benda-benda tersebut sebagai sumber kehidupan bagi kehidupannya di masa depan.

                Diantara sajian yang selalu menjadi pelengkap tiap tradisi siklus masyarakat Mbojo ini, terdapat buah yang menggantung seperti kelapa. buah mangga dan lainnya. Ada pula umbi-umbian yang ada dalam tanah. Bahwa ada banyak  kekayaan alam yang tersedia bagi kehidupan manusia, di bumi maupun di dalam tanah. Serta banyak panganan yang diolah dari hasil bumi tersebut seperti kue-kue. Juga ada beras kuning dan padi yang disangrai sehingga mekar berwarna putih  dan tampak demikian cantik rupanya. Ini sebagai simbol mengajarkan kreativitas dalam mengolah sumber-sumber penghasilan nantinya. bahwa beras tidak mesti berwarna putih dan padi tidak mesti hanya ada dalam kulit arinya, melainkan dapat diolah dengan banyak cara. Adapun lilin sebagai simbol penerang bagi jalan-jalan kehidupan yang akan dilalui kelak.

                Sementara itu, periuk baru yang dililit kain kafan dan benang putih yang juga selalu dihadirkan merupakan simbol untuk mengingatkan bahwa dalam kehidupan manusia ada kelahiran (kehidupan baru) dan juga pasti akan ada kematian. Ketika manusia mati, maka ia hanya akan pulang dengan kain kafan yang dibuat dari benang-benang berwarna putih.

Sumber Tulisan :                        
                              
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.


BUDAYA SAMAWA : GUNTING BULU

Kelahiran seorang bayi dalam sebuah keluarga merupakan anugerah istimewa bagi seluruh anggota keluarga besar tersebut. Ini pertanda bertambahnya jumlah anggota keluarga yang akan mengisi garis-garis silsilah. Hal inilah yang membuat kelahiran bayi selalu mendapat perhatian khusus dari anggota keluarga dan orang tua, sehingga perlakuan dan kasih sayang istimewa pun tak ketinggalan dicurahkan bagi bayi tersebut. Maka, acara-acara dan syukuran hingga upacara adat pun mewarnai penyambutannya. Di kalangan umat muslim di Indonesia, biasanya penyambutan kelahiran bayi sekaligus sebagai ungkapan kebahagiaan keluarga yang mendapatkan anggota baru dalam keluarga tersebut, dilakukan dengan acara cukuran dan aqiqah.

                Namun, tidak sedikit yang menyelenggarakan acara-acara tersebut dengan sentuhan tradisi lokal yang kental. Syukuran kecil atau pun besar, bermakna sama; kebahagiaan bagi keluarga. Tradisi penyambutan bayi seperti ini di Sumbawa maupun Sumbawa Barat, dikenal dengan upacara adat Gunting Bulu (cukuran) dan Turin Tanak (turun tanah). Kedua acara ini umumnya digabung dalam satu kesempatan bersamaan dengan aqiqah dan pemberian nama, saat usia bayi berumur tujuh hari. Meski begitu tidak jarang yang melaksanakan satu atau dua acara saja, tergantung kesiapan terutama material untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut.

                Tradisi Gunting Bulu dalam masyarakat Samawa masih dilakukan hingga saat ini. Dalam upacara adat Gunting Bulu, rambut anak tidak digundul atau dicukur hingga botak melainkan digunting secara simbolik saja. Pada rambut anak yang akan digunting, telah diikat untaian-untaian buah bulu yang terbuat dari emas, perak atau kuningan. Dulunya, buah bulu dibuat dari emas, sekarang emas lebih banya digantikan dengan perak dan kuningan. Buah bulu berbentuk daun yang terbuat dari perak dan kuningan tersebut dirangkai dengan sehelai benang. Tiap rangkaian berisi tiga buah bulu. Pada ujungnya diberikan malam atau lilin yang akan digunakan untuk melengketkan buah bulu pada rambut si bayi. Umumnya, pada rambut bayi yang akan dipotong digantung lima rangkaian buah bulu bahkan ada juga yang lebih.

                Tradisi ini menyerap kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah dahulu secara simbolik saja. Di zaman itu, anak usia tujuh hari rambutnya dicukur hingga gundul. Lalu rambut tersebut ditimbang seluruhnya. Maka seberat timbangan rambut itulah berat emas dan perak yang disedekahkan kepada fakir miskin. Buah bulu yang terbuat dari emas atau perak, sekarang lebih banyak dipakai sebagai simbol emas yang akan disedekahkan. Maka secara simbolik pula, pada saat rambut si bayi digunting bersamaan dengan  buah bulu yang digantung di rambutnya.

                Acara inti prosesi Gunting Bulu ini, akan dilaksanakan oleh pemangku adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang diteladani. Gunting Bulu dilaksanakan dalam posisi berdiri. Semua undangan berdiri berjejer menyambut kedatangan si bayi, yang kelak diharapkan menjadi anak yang berguna bagi orang lain. Dalam gendongan sang ayah, bayi dibawa menuju Tetua atau pemangku adat yang akan menggunting rambutnya untuk pertama kali. Disertai doa-doa akan harapan baik bagi si bayi, rambutnya pun digunting bersamaan dengan buah bulu yang telah digantung pada rambutnya. Setelah pemangku adat selesai menggunting bulu si bayi, maka akan berlanjut dengan Gunting Bulu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat, orang-orang yang dituakan dalam masyarakat setempat hingga buah bulunya habis.

                Rambut yang digunting dengan buah bulu tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kelapa muda berukuran kecil dan berwarna kuning yang disebut dengan nyir gading berisi air dan bunga-bunga yang dikenal dengan bunga setaman. Ini merupakan simbolisasi bahwa tiap bagian dari manusia yang lahir itu demikian dihargai sehingga ditempatkan pada tempat yang baik (harum dengan bunga-bunga). Dari simbol bunga setaman ini, diharapkan anak tersebut kelak akan menjadi anak yang mandiri, memiliki pemikiran yang jernih dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan juga memiliki keluasan cara pandang dalam hidupnya sehingga meraih kemasyhuran atas dirinya.

                Sesuai dengan doa dan harapan dari orang tua si bayi dan juga masyarakat sekitarnya kelak ia mendapat tempat yang baik dalam kehidupannya karena perangai baik pula dalam bergaul. Kelapa muda yang dipakai sebagai wadah untuk menampung rambut tersebut, dibentuk bergerigi disekelilingnya yang disebut tumpal pucuk rembung.

                Setelah berakhirnya acara Gunting Bulu ini, ada juga yang langsung dirangkaikan dengan acara Turin Tanak (turun tanah) sebagai simbol bahwa si bayi harus sudah bersatu dengan alam tempat hidupnya. Berpijak di bumi yang akan ditempatinya selama ia hidup. Di bumi yang akan mewarnai perjalanan hidupnya kelak. Si bayi diperkenalkan dengan lingkungannya. Sebagai simbol ia menginjak bumi, biasanya tanah telah disiapkan dalam sebuah tampi (wadah untuk membersihkan beras khas Sumbawa). Kaki si bayi akan disentuhkan pada tanah tersebut.

                Upacara turun tanah ini juga biasanya diadakan saat anak berusia tiga bulan. Si anak dibawa turun ke tanah melewati tangga-tangga yang menjadi jalan naik menuju rumah panggung. Saat berada di tanah tersebut, sebuah jaring nelayan - jala dalam istilah masyarakat Sumbawa Barat, ramang dalam istilah Sumbawa, akan dilemparkan pada si anak yang didampingi kedua orang tuanya. Maka, yang akan kena jaring tersebut adalah si anak, ayah dan ibunya. Ini merupakan simbol si anak dan keluarganya diterima dalam lingkungan dan masyarakat sosialnya. Selain itu, makna jaring ini juga adalah untuk menjaring penyakit agar si anak terhindar dari sakit yang berbahaya.

                Dulu, dalam masyarakat tradisi Samawa, bayi-bayi tidak diperkenankan keluar rumah sebelum acara Turin Tanak sampai usia tiga bulan. Ia akan tetap berada di rumah dan tidak boleh keluar rumah. Tampaknya, cara tradisional ini juga sangat melindungi anak-anak karena tentu saja, selama tiga bulan itu ia akan selalu didampingi oleh ibunya yang tentu saja juga akan memberikan ASI padanya. Dan dalam masa itu, ia bisa mendapatkan ASI ekslusif. Begitu besar penghormatan masyarakat dalam tradisi Sumbawa terhadap anak yang dilahirkan. Sejak bayi ia telah diperlakukan secara mulia.

                Bagi kaum bangsawan dahulu, bayi-bayi yang baru lahir dari hari pertama lahir hingga berusia tujuh hari, tidak diperkenankan tidur di tempat tidur. Tidak diperkenankan bersentuhan langsung dengan perabotan yang dibuat manusia. Selama tujuh hari, tujuh malam, bayi-bayi ini selalu tidur dalam gendongan atau ayunan. Orang-orang yang berada di sekitarnyalah yang akan bergantian menggendongnya selama tujuh hari tujuh malam. Ini merupakan bukti bahwa dalam masyarakat tradisi Sumbawa, anak yang dilahirkan tersebut benar-benar dijaga dan dilindungi. Bahwa bayi-bayi yang baru lahir tersebut secara tidak langsung diajarkan beradaptasi dengan lingkungannya dengan perlahan-lahan, dengan tidak langsung menempatkannya pada tempat tidur melainkan terlebih dahulu pada gendongan. Upacara adat penyambutan bayi yang lahir dalam keluarga ini biasanya dilakukan bersamaan juga dengan aqiqah dan pemberian nama. Upacara adat ini memang tampak sangat sederhana, tetapi di balik itu menyimpan muatan-muatan nilai  yang positif bagi kehidupan manusia ke depannya.

Sumber Tulisan :                        
                              
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

BUDAYA MBOJO : KIRI LOKO

                Salah satu siklus hidup yang dilalui oleh masyarakat Suku Mbojo, adalah kehamilan (bagi perempuan). Sejak anak dalam kandungan, prosesi adat mulai menyertai hingga si anak tersebut (jika perempuan) mengandung kembali nantinya. Seperti halnya pada Suku Sasak dan Samawa, masyarakat Mbojo juga, memiliki tradisi tujuh bulanan, yang disebut Kiri Loko. Tidak kalah uniknya dengan kedua suku tersebut, Kiri Loko juga disertai dengan simbol-simbol kehidupan manusia, seperti kain, benang, api atau cahaya, buah-buahan hingga mandi air kelapa. Seluruh simbol kehidupan itu merupakan pelengkap dalam upacara adat Kiri Loko.

                Tradisi tujuh bulanan bisa ditemui di berbagai daerah di Indonesia dengan beragam cara dan kebiasaan, termasuk pula masih dilestarikan oleh Suku Mbojo, di Bima dan Dompu.

                Tradisi tujuh bulanan khas Suku Mbojo yang dikenal dengan nama Kiri Loko masih tetap dilaksanakan hingga saat ini. Tradisi Kiri Loko dilakukan saat usia kandungan memasuki bulan ketujuh. Di usia itu, bayi dalam kandungan calon ibu telah utuh menjadi seorang manusia yang tengah berkembang semakin matang dan siap untuk dilahirkan pada saatnya tiba. Dipercaya, tradisi Kiri Loko bertujuan memberikan kekuatan dan semangat kepada calon ibu yang baru pertama kali akan mengalami proses luar biasa dalam hidupnya, yaitu melahirkan .

                Dalam prosesi Kiri Loko, terdapat sekali simbol dan makna kehidupan pada setiap tahapan prosesnya. Mulai dari kain tujuh lapis yang diatasnya daun pisang termuda dan kain putih yang dipakai sebagai alasa tidur oleh ibu hamil selama proses berlangsung. Tujuh lapis kain ini melambangkan bahwa kehidupan manusia itu betapa tinggi nilainya serupa tujuh lapis langit dan bumi yang kerap diumpamakan terhadap alam semesta ini. Kain putih sebagai pelapis atas tujuh kain tersebut, sebagai simbol bahwa manusia lahir dalam keadaan putih dan bersih dari segala dosa.

                Aksesoris berupa kain berlapis juga dipergunakan oleh Suku Mbojo yang ada di Dompu, yang disebut dengan Tembe Kanefe (kain atau sarung tradisional). Calon ibu harus menyiapkan beberapa helai sarung yang simbolnya nanti akan dipakai untuk menggendong dan mengasuh bayinya. Simbol ini merupakan bentuk tanggung jawab, yang melahirka anak ke dunia ini untuk mengasuh, merawat, melindungi dan membimbing dengan benar agar ia  menjadi anak yang berguna bagi semua.
                Selain itu terdapat juga terdapat setandan pisang dan beras kuning dan putih yang dipakai untuk menancapkan lilin-lilin kecil yang dinyalakan semenjak prosesi dimulai. Beras dan pisang sebagai lambang doa kemakmuran dan rejeki beragam bagi calon ibu dan bayinya kelak. Cahaya lilin sebagai penerang dalam menjalani kehidupan sehari-hari kelak. Tidak lupa sebutir kelapa yang airnya akan dipakai untuk memandikan sang calon ibu. Sebutir telur sebagai perlambang asal muasal dari sesuatu yang tengah ditunggu. Minyak yang diolesi di atas perut calon ibu juga sebagai harapan, agar saat melahirkan nanti calon ibu bisa dengan mudah menjalani prosesnya serta mampu melahirkan dengan normal.

                Usai prosesi mengolesi minyak, calon ibu akan menyebar uang receh yang sudah disiapkan dalam berbagai pecahan. uang tersebut akan ditebar pada para tamu yang hadir dan rata-rata adalah perempuan. Inilah saat yang paling dinanti dalam hajatan Kiri Loko. Berebut uang receh dari calon ibu. Aksi saling dorong dan hiruk pikuk keramaian akan terdengar saat ini. Prosesi ini merupakan simbol bersedekah dan berbagai kelebihan rezeki. Bukan nilai atau jumlahnya yang direbut tamu, melainkan karena uang receh tersebut dianggap dan dipercaya memiliki berkah tersendiri bagi yang mendapatkan.

                Setelah acara inti Kiri Loko berakhir, dilanjutkan dengan acara santai yang diisi dengan makan rujak bersama. Sebelumnya, jika pada kegiatan selamatan lainnya, masyarakat akan bergotong royong memasak untuk kebutuhan konsumsi acar, maka di acara Kiri Loko, para ibu sibuk mengolah rujak sebagai panganan bagi para tamu. Rujak terbuat dari berbagai macam buah-buahan. Makan rujak bersama menjadi salah satu acara wajib dalam tradisi Kiri Loko. Ada kebersamaan yang terbangun sebagai komunikasi tidak langsung antar sesama warga yang hadir sebagai tamu.

                Sebagai awal prosesi, sang calon ibu tidur di atas tujuh lapis kain dengan daun pisang termuda serta kain putih yang baru pertama kali dipakai - kain putih ini harus benar-benar baru bukan kain sisa pakai. Di atas kain putih tersebut, uang receh dalam jumlah yang banyak diletakkan. Sebutir telur dan minyak disiapkan di sisi perut calon ibu. Diawali oleh seorang perempuan sebagai pelaksana utama, lalu diikuti oleh satu per satu wanita yang dituakan atau dihormati di kampung tersebut, mengelus perut calon ibu, dilanjutkan dengan mengelus telur secara merata di perut calon ibu yang diiringi doa masing-masing pengelus. Sembari melafalkan doa dan harapan-harapan akan kebaikan bagi si ibu dan bayinya kelak, para pengelus perut memberi nasehat dan menguatkan hati calon ibu untuk sabar, tenang ketika menjalani masa-masa akhir kehamilan termasuk saat melahirkan kelak. Banyaknya orang yang akan mengelus perut calon ibu ini biasanya ganjil, tujuh atau sembilan orang.

                Setelah proses elus perut selesai, calon ibu dibungkus kain yang penuh dengan uang receh tersebut. Dengan tergopoh-gopoh, pelaksana Kiri Loko, meminta calon ibu untuk bangkit dan segera berjalan cepat menuju ibu-ibu undangan. Uang receh tersebut disebar keberbagai tempat para undangan yang sedari tadi bersiap untuk saling berebut setiap receh yang dilemparkan oleh calon ibu. Suasana pun seketika pecah, riuh oleh sorak dan lengkingan gembira para ibu yang saling rebut uang receh. Inilah salah satu acara yang ditunggu dalam setiap tradisi Kiri Loko.

                Ternyata bukan hanya uang receh saja yang dicari sebagai berkah, sisa-sisa prosesi lainnya seperti telur dan beras putih kuning juga dipercaya sebagai pembawa berkah. Senada dengan harapan semoga bayi dalam kandungan sang ibu juga sebagai pembawa berkah bagi keluarga. Selain itu, beras kuning misalnya, juga dianggap membawa berkah, yakni dengan menyebarkannya di sawah agar tanah menjadi subur.

                Usai melemparka receh kepada para undangan, calon ibu kemudian dimandikan dengan air kembang dan air kelapa sebagai perlambang mensucikan calon ibu agar diberi kemudahan melahirkan kelak. Calon ibu juga diminta berkaca sembari menyisir  rambutnya sebagai simbol bahwa wanita ini telah siap menjadi ibu dan menerima sang bayi lahir ke dunia, dengan wajah yang berseri karena bahagia. Dalam prosesi mandi air kelapa yang sudah dibelah dua oleh pelaksana Kiri Loko, Kemudian dibuang ke belakang oleh calon ibu. Konon, kalau tempurung kelapa menghadap ke atas, diramalkan kelak bayinyaakan berjenis kelamin perempuan. Dan jika tempurung kelapa tersebut jatuh tertelungkup, kelak bayinya berjenis kelamin laki-laki. Prosesi terakhir sebagai penutup seluruh rangkaian acara adalah saat seutas benag putih melingkar, disusupkan keseluruh tubuh calon ibu dari atas kepala hingga ujung kaki. Ini sebagai simbol sekaligus mengingatkan bahwa manusia itu sewaktu-waktu dapat saja kembali pada Sang Pecipta. Jadi, siapa pun orangnya, sudah harus siap menerimanya, kapanpun ia datang.

Sumber Tulisan :                        
                              
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.


BUDAYA SAMAWA : BISO TIAN

               Dari semua keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan, mengandung dan melahirkan merupakan keistimewaan yang paling tinggi nilainya. Suka cita menjalani masa-masa mengandung adalah kenimatan tersendiri bagi masing-masing calon ibu. Bukan hanya calon ibu yang bersuka cita, keluarga besar pun ikut merasakan semaraknya suasana rumah ketika kehamilan salah satu anggota keluarga dikabarkan. Utamanya kabar kehamilan anak pertama.

                Kehamilan pertama biasanya mendapatkan perlakuan lebih ketimbang kehamilan kedua dan seterusnya, baik dari ibu si calon bayi maupun keluarga. Salah satu bentuk perlakuan khusus tersebut adalah melakukan tradisi Biso Tian. Biso Tian merupakan tradisi tujuh bulanan seperti juga di berbagai daerah di Indonesia dengan beragam cara dan kebiasaan. Biso Tian bertujuan sebagai ungkapan kebahagiaan menanti bayi pertama dari seorang ibu. Selain itu, meramaikan acara tujuh bulanan khas Sumbawa ini juga untuk memberikan kekuatan dan semangat kepada si calon ibu yang baru pertama kali akan mengalami proses luar biasa dalam hidupnya, yaitu melahirkan,

                Selain itu, Biso Tian juga dilakukan sekaligus sebagai acara syukuran atas kehamilan tersebut dan ungkapan suka cita bagi seluruh keluarga besar dari calon bayi pertama dari seorang ibu tersebut. Tentu saja, melihat perhatian dan tanggapan yang besar dari seluruh keluarga besar tersebut, membuat sang ibu yang tengah memepersiapkan diri melahirkan untuk pertama kalinya akan terbantu secara psikis, bahwa anak bahwa anak yang akan dilahirkannya dinanti dengan suka cita oleh keluarganya. Dalam tradisi Biso Tian, berbagi rezeki pun menyertainya.

                Tradisi Biso Tian di Sumbawa maupun Sumbawa Barat dilakukan saat usia kandungan memasuki bulan ketujuh. Biso Tian dilakukan pada tiap kehamilan namun yang diutamakan adalah kehamilan pertama. Dalam tradisi ini, terkadang tidak harus pada kehamilan bulan ketujuh, melainkan juga biasanya dilakukan pada bulan kedelapan atau kesembilan, tergantung kesiapan terutama kesiapan finansial sebuah keluarga. Dipilihnya bulan ketujuh untuk melaksanakan tradisi ini, lebih karena bayi dalam kandungan calon ibu telah utuh menjadi seorang manusia yang tengah berkembang semakin matang dan siap untuk dilahirkan pada saatnya tiba.

                Dalam prosesi Biso Tian, terdapat banyak sekali simbol dan makna kehidupan pada setiap tahapan prosesnya. kain berwarna-warni tujuh lapis dipakai sebagai alas tidur oleh ibu hamil selama prosesi berlangsung. Tujuh lapis kain ini melambangkan bahwa kehidupan manusia itu betapa tinggi nilainya serupa tujuh lapis bumi dan langit yang kerap diumpamakan terhadap alam semesta ini. Sebuah pegu (wadah khas suku Samawa terbuat dari kuningan) berisi beras berwarna-warni; hitam, hijau, merah muda dan putih. Yang berwarna putih adalah khusus dibuat dari padi yang disangrai sampai mekar. Beras warna-warni sebagai pelengkap prosesi ini merupakan lambang kemakmuran yang diharapkan dari sang bayi yang akan lahir. Sebuah lilin yang diletakkan di atas sebutir kelapa, sebagai lambang harapan bahwa kelak si bayi akan menjalani kehidupan di jalan yang benar dan lurus yang disimbolkan dengan lilin yang menyala.

                Di sisi lain tempat prosesi berlangsung, terdapat sebuah wadah batu ukuran besar yang disebut Teleku 'Batu berisi air yang di dalamnya terdapat macam-macam kembang. Air kembang dari wadah batu ini nantinya akan dipakai untuk memandikan calon ibu. Mandi kembang bagi calon ibu, semacam sakralisasi diri untuk menghadapi saat-saat menakjubkan dalam hidupnya ketika melahirkan nanti. Yang tidak kalah pentingnya adalah setumpuk uang receh atau logam yang sengaja disiapkan . Jumlah dan pecahannya, tidak terbatas, tergantung kemampuan yang berhajat. Uang logam inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua ibu-ibu yang hadir dalam acara tersebut.

                Dalam setiap acara Biso Tian di Sumbawa Barat, selalu disertai dengan makan rujak bersama bagi seluruh undangan yang hadir. Ada kebersamaan secara tidak langsung yang dibangun dalam membuat dan makan rujak bersama ini. Jadi, bukan hanya calon ibu yang biasanya saat ngidam saja yang suka makan rujak, tapi seluruh undangan seolah-olah ikut merasakan seperti apa yang dirasakan oleh calon ibu tersebut. Tujuannya tidak lain untuk memberikan sumbangan semangat bagi si calon ibu, bahwa ibu-ibu disekitarnya pun ikut merasakan apa yang dirasakan calon ibu tersebut. Semacam memberi kekuatan secara psikis bagi calon ibu sehingga calon ibu tersebut senantiasa bahagia menantu masa-masa persalinannya.

                Dalam tiap acara adat Biso Tian, seorang yang disebut dengan Sandro Tamang (dukun beranak), memegang peranan yang sangat penting dalam prosesi ini. Sandro Tamang adalah seorang yang diberi kepercayaan oleh masyarakat adat Samawa menjadi "sutradara" acara ini karena memiliki keahlian secara turun temurun. Tidak banyak yang berprofesi sebagai Sandro Tamang, hanya merek ayang memiliki keahlian secara turun menurun yang diakui secara adat.

                Diawali dengan memandikan calon ibu dengan air kembang, Biso Tian pun dimulai. Doa-doa untuk kemudahan dan kebaikan bagi calon ibu mengalir dari bibir Sandro Tamang sepanjang mandi kembang berlangsung. Guyuran lembut yang dipenuhi bunga-bunga tentu saja memberikan kenyamanan bagi calon ibu dan bayi yang dikandungnya. Setelah itu, sang calon ibu mempercantik penampilannya dengan memakai pakaian adat Sumbawa khusus untuk ibu hamil, menuju prosesi inti Biso Tian.

                Di atas alas yang disiapkan khusus, calon ibu tidur dengan nyaman. Alas khusus ini terdiri dari selembar tikar yang dibuat secara khusus juga, orang Sumbawa menyebutnya Samparumpu. Tikar ini adalah tikar khas masyarakat adat Samawa yang diyakini mampu menangkal hal-hal negatif yang mengarah pada calon ibu dan bayinya. Un tuk melindunginya secara supranatural dari kemungkinan-kemungkinan niat jahat dari alam lain. Tidak itu saja. Di atas Samparumpu tersebut diletakkan pula tujuh lapis kain berwarna-warni sebagai alas lapisan kedua. Dan pada lapisan ketiga akan diletakkan kembali tujuh lapis kain lagi. Dan di atas kain inilah, calon ibu ditidurkan.

                Tujuh orang perempuan akan mengambil peran saat acara inti Biso Tian ini. Selain Sandro Tamang, terdapat enam orang lainnya yang akan ikut terlibat dalam prosesi inti Biso Tian yang disebut Mengas Mentar (mengangkat perut calon ibu menggunakan kain kemudian digoyangkan secara lembut). Enam orang lainnya adalah perempuan yang ditokohkan atau yang diteladani di kampung tersebut.

                Saat lilin yang diletakkan di atas sebutir kelapa pada pegu berisi beras dinyalakan, Mengas Mentar pun dimulai. Selembar kain pada lapisan teratas di bagian kiri dan kanan perut calon ibu, akan dipegang oleh Sandro Tamang. Dengan perlahan, Sandro Tamang akan mengangkat sedikit kain tersebut sembari menggerak-gerakkannya secara lembut. Perut calon ibu pun terangkat dan bergoyang-goyang lembut sekali. Usai melakukan Mengas Mentar, Sandro Tamang mengeluarkan kain lapisan teratas yang sudah dipakai tersebut sehingga meninggalkan enam kain dari lapisan ketiga tadi. Hal yang sama kemudian diikuti oleh keenam perempuan pilihan tersebut. Dan setiap lapis kain yang telah dipakai Mengas Mentar itu, dikeluarkan tumpukan lapisan tempat tidur calon ibu. Ada kenyamanan yang akan dirasakan calon ibu selama Mengas Mentar ini berlangsung sehingga calon ibu tampak tenang. Harapannya senyaman dan setenang inilah nanti calon ibu saat menjalani proses persalinan. Simbol harapan untuk kemudahan proses melahirkan juga ada pada telur diolesi dengan minyak yang diusapkan dari ubun-ubun hingga ujung telapak kaki sang calon ibu.

                Proses Mengas Mentar memberi gambaran secara alami, seperti sebuah kotak yang berisi sesuatu yang penuh namun tidak sesak, ketika isinya tersebut akan dikeluarkan, maka untuk memudahkan mengeluarkan isi tersebut, biasanya akan digoyang-goyang dahulu agar benda yang berada dalam kotak tidak lengket pada dinding-dinding kotak tersebut sehingga mudah dikeluarkan. Tampaknya, masyarakat adat Samawa memaknai prosesi ini dengan belajar dari alam meski secara media belum ditemukan kaitannya. Bagi masyarakat tradisional, niat dan tujuan baik dari sebuah kegiatan adatlah yang menjadi panutan mereka.

                Mengas Mentar usai, calon ibu bangkit. Dalam gendongan baju calon ibu, telah diletakkan tiga kain yang diletakkan saat Mengas Mentar dan uang logam. Calon ibu kemudian perlahan menuju pintu rumah di mana di halaman rumah telah dipenuhi undangan. Saat inilah acara yang paling ditunggu oleh undangan yang lebih banyak para ibu, berebut uang logam. Membuang kain dan uang logam ini memiliki makna tersendiri. Membuang kain yang dipakai Mengas Mentar secara simbolik ini bermakna bahwa si ibu tengah menghindari hal-hal buruk yang akan terjadi pada dirinya dan bayi yang dikandungnya. Agar segala proses persalinan berjalan lancar seperti yang diharapkan. Sedangkan menyebar uang logam adalah simbol berbagi rezeki.

                Diikuti oleh salah seorang keluarga yang memegang pegu berisi beras warna-warni yang di dalamnya juga terdapat uang logam yang banyak, di depan pintu rumah calon ibu mulai berbagi dengan melemparkan kain yang dipakai saat Mengas Mentar tersebut dan logam-logam dari gendongan bajunya. Uang logam tersebut disebar ke berbagai tempat para undangan yang sedari tadi bersiap untuk saling rebut setiap receh yang dilemparkan oleh calon ibu. Suasana pun seketika pecah, riuh oleh sorak dan lengkingan gembira para ibu yang saling rebut uang receh tersebut. Para undangan pun bersuka cita saling rebut uang logam dan dengan bangga mengangkat logam tersebut jika mendapatkannya. Inilah acara paling seru dan ramai dalam acara Biso Tian. Histeria dan kegaduhan akan sangat tampak saat ini ketika para ibu ini adu cepat dan tepat untuk mendapatkan uang logam.

                Dalam acara rebutan logam ini, miskin dan kaya tidak ada bedanya. Karena yang direbut bukan nilai uangnya, tapi logam yang diterjemahkan sebagai berkah. Semakin banyak yang bisa diperoleh dengan cara rebutan, maka dianggap semakin besar berkah rezekinya. Logam dalam acara Biso Tian yang disebar calon ibu ini, bukanlah sembarang logam. Ia memiliki makna yang sangat berarti bagi mereka yang mendapatkannya. Uang logam ini diyakini dapat membawa berkah karena tentu saja, saat calon ibu menyebar uang logam tersebut selalu disertai dengan doa, meski pun tidak terucap, agar anaknya menjadi anak yang mulia bagi dirinya dan juga masyarakat. Doa ibu adalah berkah yang paling tinggi, yang paling agung bagi seorang anak. Dan logam inilah simbol keberkahan yang menempati posisi tertinggi.

                Hal inilah yang membuat para ibu berebut logam dalam tiap upacara adat Biso Tian. Sebenarnya mereka tidak sedang berebut uang logam karena nilainya tidak seberapa, tapi mereka tengah merebut berkah yang nilainya sangatlah tinggi. Maka, harapan dari mereka yang mendapatkan uang logam tersebut adalah segala upaya dan usaha serta ikhtiar yang dilakukannya dalam kehidupannya dapat tercapai seperti mendapatkan berkah bak doa ibu. Mereka yang berdagang biasanya akan menyimpan uang logam ini sebagai penglaris dagangannya. Harapannya, orang akan ramai belanja dagangannya seramai dan seriuh mereka yang berebut uang logam dalam acara ini. Demikian pula dengan lainnya.

                Pada bagian akhir upacara ini digelar acara makan rujak bersama. Calon ibu dan calon ayah (suami istri) akan mendatangi para tamu undangan untuk mengantarkan makan rujak. Bermacam-macam buah dengan rasa yang beragam, manis, asam, asin dan pahit yang menjadi bahan rujak tersebut bukan sekedar pelengkap acara melainkan simbol pertemuan rasa orang tua calon bayi dengan masyarakat yang kompleks dalam kehidupan bermasyarakatnya. Beragam rasa tersebut juga dapat mewakili kehidupan sosial masyarakat yang tidak selamanya senang, tidak pula selamanya pahit atau sedih.

                Tradisi Biso Tian dalam kebanyakan masyarakat Suku Samawa adalah tradisi yang mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan dengan yang lainnya, bersosialisasi dan memiliki tenggang rasa dan juga saling berbagi dalam pergaulan sehari-hari. Simbol-simbol ini jelas ada pada tradisi ini.

Sumber Tulisan :                        
                              
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

                                                                         

BUDAYA SASAK: MERARIQ

Dalam hal perkawinan, Lombok dikenal masih sangat kental dengan prosesi adatnya. Tidak hanya di pelosok-pelosok desanya, pun di kota masih dapat ditemukan dengan mudah masyarakat melaksanakan upacara-upacara adat yang berkaitan dengan perkawinan atau yang dikenal dengan merariq. Nilai-nilai adat yang termanifestasikan dalam semangat tradisi yang kental masih dijalankan oleh masyarakatnya, termasuk dalam hal proses berumah tangga, sejak perkenalan hingga saling mengenal lebih jauh (midang) yang puncaknya adalah merariq.

                Dalam aturan adat Sasak, usia pernikahan bagi seorang perempuan memang tidak disebutkan secara verbal, melainkan ada ukuran tertentu yang dianggap bahwa perempuan tersebut cukup umur untuk berumah tangga. Kriteria perempuan yang dianggap cukup umur untuk berumah tangga menurut adat Sasak, ukurannya dilihat dari "kalau ia sudah bisa menenun dan bisa mengantar makanan ke sawah dengan cara dijunjung". Filosofinya adalah bahwa ketika seorang perempuan sudah bisa menenun berarti ia telah terampil. Proses sampai perempuan bisa menenun itulah dianggap sebagai pengalaman dalam mempersiapakan diri untuk dewasa. Ia pun dianggap bisa bekerja. Demikian juga dengan ketika ia telah bisa berjalan menuju sawah untuk mengantar makanan bagi keluarga yang bekerja dengan cara dijunjung. Ini berarti ia telah memiliki keseimbangan yang baik. Orang yang telah mampu menjaga keseimbangan, secara tidak langsung dianggap telah dewasa.

                Setelah proses  mbait berhasil dan calon penganten perempuan ditempatkan di rumah salah seorang kerabat laki-laki, maka mulailah proses adat yang lebih serius menuju kesepakatan keluarga untuk menikahkan mereka. Proses selanjutnya tidak hanya melibatkan keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan melainkan juga melibatkan masyarakat sosial dan institusi resmi seperti desa atau kecamatan. Dalam waktu paling lambat tiga hari setelah perempuan dibawa "lari", maka kepala dusun tempat si laki-laki berdomisili akan melakukan kepada kepala dusun asal si calon penganten perempuan, bahwa si perempuan tidaklah hilang melainkan sengaja diambil oleh si laki-laki yang berasal dari dusun mereka. Pemberitahuan antar lokasi dan tempat ini yang melibatkan antarinstitusi sosial dalam tradisi Sasak disebut sejati. Di Lombok Utara khususnya Bayan, proses ini disebut mejati. Sejati merupakan proses pemberitahuan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, yang dilakukan antar institusi pemerintah dari kedua belah pihak dalam hal ini kepala desa, kepala lingkungan atau kepala kampung.

                Proses berikutnya disebut selabar. setelah antar dusun telah saling mengetahui, maka tahap berikutnya adalah kepala dusun beserta keluarga dari pihak laki-laki yang diantar oleh kepala dusun dari pihak perempuan secara resmi akan melakukan pemberitahuan kepada keluarga si perempuan. Dalam prosesi pernikahan adat Sasak bukan hanya menjadi urusan keluarga si calon penganten, melainkan juga secara langsung juga melibatkan masyarakat sosial pada tahapan tertentu seperti sejati dan selabar. Masyarakat sosial ini diwakili oleh perangkat dari institusi resmi seperti kepala dusun dan kepala lingkungan. Selabar bisa saja berlangsung beberapa kali, sebabnya bisa karena keluarga perempuan belum berkumpul semua untuk membahas diterima atau tidaknya proses selabar tersebut secara adat. Diterima secara adat - melibatkan urutan strata sosial seperti bangsawan atau tidak, atau diterimanya secara agama (Islam).

                Jika si perempuan bukanlah seorang bangsawan, bisa saja proses selabar-nya tidak diterima secara adat tapi diterima secara agama (oleh keluarga tinggal memberikan wali maka proses pernikahan selesai). Tidak lagi ada prosesi adat yang lain. Namun, jika selabar diterima maka akan berlanjut ke proses adat berikutnya, yakni pihak keluarga laki-laki akan datang lagi bersama dengan pemuka agama dan kyai untuk menemui keluarga pihak perempuan guna meminta wali nikah bagi si perempuan. Meminta wali juga, ada aturannya sendiri. Rombongan selabar tadi masuk terlebih dahulu bertemu dengan keluarga perempuan untuk memberitahukan maksud kedatangan mereka bersama tokoh agama dan kyai tersebut.

                Dalam rombongan selabar ini terdiri dari Panji sebagai juru bicara keluarga, kepala dusun dan kepala lingkungan dari pihak laki-laki. Penerima selabar juga dengan komposisi yang sama. Setelah rombongan selabar keluar barulah pemuka agama dan kyai bersama keluarga terdekat pihak laki-laki dan juru bicaranya masuk untuk secara resmi meminta wali nikah bagi si perempuan. Ketika selabar dinyatakan diterima dan wali diberikan, maka mulailah keluarga kedua belah pihak merencanakan acara akad nikah dan resepsi (jika ada).

                Maka prosesi berikutnya adalah rombongan peminta wali akan datang secara adat untuk menjemput wali di saat akad nikah akan dilaksanakan di kediaman laki-laki. Proses ini disebut menuntut wali, yang dilakukan oleh kyai atau penghulu dari desa pihak laki-laki yang datang ke rumah orang tua si perempuan untuk meminta keikhlasan dinikahkan dengan laki-laki pilihannya. Saat penjemputan ini maka pihak laki-laki sebelumnya telah menanyakan kepada pihak perempuan berapa jumlah rombongan dari pihak perempuan yang akan menghadiri akad nikahnya nanti. Oleh pihak laki-laki akan disiapkan kendaraan untuk menjemput rombongan keluarga perempuan. Semua biaya hingga akad nikah usai ditanggung oleh pihak laki-laki. Karena ini ketentuan adat, maka semuanya berlaku fair, tidak ada yang saling merasa tidak enak soal biaya, karena telah dibicarakan dengan detail pada proses-proses adat sebelumnya.

                Dua hari berselang, rombongan pihak laki-laki akan datang kembali ke pihak perempuan untuk sebuah proses yang disebut bait bande atau mencari tahu apa yang dibebankan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki untuk prosesi adat selanjutnya seperti sorong serah. Di sini mulai dibicarakan dan berdiskusi tentang biaya atau kontribusi masing -masing yang disesuaikan dengan rencana begawe, apakah begawe dengan cara begawe utama, begawe madya atau begawe nista.

                Ada juga yang menyebut proses ini sebagai abot enteng (bait janji). Proses musyawarah antara utusan pihak laki-laki kepada pihak perempuan menyangkut tata cara penyelesaian pernikahan tersebut. Apakah dilakukan dengan tata cara utama (tertinggi), madya(menengah) ayau wiyasa (biasa). Musyawarah juga dilakukan menyangkut kesepakatan hari pelaksanaan pernikahan, nyongkolan dan sorong serah aji krame.

                Dalam prosesi ini ditentukan apa saja yang akan dijadikan seserahan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Seserahan bisa berupa kebutuhan untuk perhelatan seperti kerbau dan beras. Untuk menyerahkan segala kebutuhan begawe ini, maka ada namanya acara adat atung bande, yakni mengantar semua kebutuhan begawe secara resmi. Rombongan yang datang biasanya diiringi gamelan dan bunyi-bunyian.

                Sebelum acara nyongkolan berlangsung sebagai prosesi berikutnya dalam perkawinan adat Sasak dilakukan kegiatan sorong serah aji krame yang dilaksanakan oleh tokoh adat yang datang kepada pihak keluarga perempuan sebagai ungkapan rasa suka cita kedua belah pihak keluarga. Dan melengkapi seluruh rangkaian adat dalam pernikahan masyarakat Sasak adalah bales ones nae (napak tilas), di mana rombongan keluarga terdekat pihak mempelai laki-laki mendatangi rumah keluarga perempuan dan dilaksanakan silahturahmi dan saling memaafkan.

                Sederhananya proses saling kenal hingga menikah dalam tradisi Sasak adalah diawali dengan midang, merariq, sejati, selabar, menuntut wali, abot enteng (bait janji), upacara begawe dan bales ones nae (napak tilas).

Sumber Tulisan :                 
                        
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

                                                                                                                                                                   

BUDAYA SASAK : NYONGKOL

Salah satu acara inti dalam prosesi perkawinan adat Sasak adalah Sorong Serah dan Nyongkolan (tradisi arak-arakan pengantin menuju rumah mempelai wanita). Selama proses perkawinan adat Sasak dilakukan, kegiatan berupa begawe inti yang diselenggarakan di keluarga laki-laki pun dimulai, yang disebut dengan Rowah Angkat Gawe. Diadakan selamatan untuk memulai begawe tersebut dengan doa dan dzikir. Acara ini biasanya diikuti oleh para lelaki. Sedangkan perempuan Sasak juga memiliki acara sendiri yang disebut dengan betangko (malam khusus untuk tamu-tamu perempuan yang datang ke undangan begawe). Sedangkan pada jelo gawe (hari pestanya), ada penerimaan tamu-tamu adat baik laki-laki ataupun perempuan.

                Seluruh prosesi adat pun dilangsungkan hingga akhirnya tiba saat untuk akad nikah yang kemudian dilanjutkan dengan Sorong Serah dan Nyongkoloan.

                Sorong Serah Aji Krama yang berfungsi sebagai pengukuhan perkawinan secara adat biasanya dilakukan sehabis waktu Dzuhur. Dalam acara ini, pihak laki-laki dan perempuan masing-masing diwakili sekelompok masyarakat adat yang terdiri dari juru bahasa adat atau yang disebut Pembayun, Kepala Desa sebagai Pengemong Adat dan Kepala Dusun sebagai Pamong Adat.

                Dalam Sorong Serah ini, penentu Aji Krama (nilai adat) dari orang yang bersangkutan dikaitkan dengan strata sosial dan dalam adatnya. Misalnya, bagi mereka yang bangsawan atau yang dikenal dengan kalangan menak disebut dengan aji status (seratus), kalangan menengah atau yang dikenal dengan perbape disebut aji enam dase enam (enam puluh enam). Sedangkan bagi kalangan biasa atau jajar karang, disebut aji telung dase telu (tiga puluh tiga). Hal ini dimaksudkan sebagai hak keluarga baru dalam adat Sasak.

                Aji sendiri dapat dibagi menjadi dua yakni napak lemah (injak tanah) yang menggambarkan kesanggupan keluarga baru tersebut untuk kehidupan keluarga ke depan. Biasanya ini disimbolkan dengan materi berupa sejumlah uang dan emas tergantung stratanya. Juga ada yang disebut dengan olen, yakni kesanggupan dari laki-laki untuk melindungi keluarganya dengan memberikan sandang pangan, pakaian, dan memenuhi kebutuhan lahir batinnya. Olen simbolnya berupa kain. jumlah kain tergantung aji-nya.

                Sebagai pengiring atau penyertaan dari aji ini yang disebut dengan jajar kemiri terdiri dari salin dende yang merupakan hantaran sebagai ucapan terima kasih kepada ibu dari mempelai perempuan. Simbolnya berupa periuk, terompong untuk peniup api tungku, kain ceraken, besek berupa kotak-kotak penyimpan bumbu, dan obat-obatan. Ini diserahkan pada ibu si mempelai perempuan. Selain itu ada juga yang disebut sebagai penjaruman, dimaksudkan untuk menjalin kekeluargaan antara keluarga perempuan dan laki-laki yang menikah. Simbolnya berupam materi, yakni uang.

                Juga ada yang disebut dengan babas kute. Biasanya mempelai laki-laki dari desanya akan datang ke desa perempuan dengan cara nyongkolan. Maka akan ada beberapa desa yang akan dilalui oleh rombongan nyongkolan tersebut. Rombongan ini akan menyiapkan semacam oleh-oleh atau hadiah yang diberikan kepada setiap desa yang dilaluinya. Simbolnya berupa uang.

                Selanjutnya ada kau tindu, yang sebenarnya tidak wajib menjadi pengiring atau penyerta dari aji dan jarang disertakan. Ini berupa tambahan yang isinya kadang-kadang hadiah besar yang dibawa oleh mempelai laki-laki untuk mempelai perempuan. Hadiah ini, bisa berupa emas. Ada yang penting juga yang disebut sirah aji (kepala dari semua aji krama). Simbolnya berupa kain kembang komak tenun hitam bergaris-garis putih sebagai lambang kehidupan dan juga kain kafan dan sebilah keris. ini melambangkan penyerahan diri penganten laki-laki sepenuhnya kepada mertuanya (orang tua mempelai perempuan).

                Pada akhir proses sorong serah, jika terjadi kesepakatan, maka antar pembayun penyorong dari pihak laki-laki dan pembayun penampi dari pihak perempuan, akan menyatakan "atas ijin dari sidang adat perempuan (maksudnya mempelai perempuan) saya terima" (maksudnya perempuan ini diterima secara adat). Prosesi ini disebut dengan pegat aji krama. Salah seorang tokoh adat akan diminta untuk megat tali jinah, biasanya menggunakan kepeng bolong yang diikat kemudian diputus sebagai pertanda berakhirnya sorong serah.

                "Yen sampun puput pembaosan pegat tali jinah tau onang kebaos maliq", yang artinya jika sudah putus pembicaraan dengan memegat tali jinah, maka tidak boleh dibicarakan lagi. Maka setelah itu usailah semua prosesi adat pernikahan Sasak. Acara dilanjutkan dengan nyongkol (mengarak penganten menuju rumah mempelai perempuan).

                Upacara nyongkolan juga memiliki aturan dan tata cara adat. Bagi para bangsawan rombongan berjumlah tertentu disertai simbol-simbol adat. Dari simbol-simbol tersebut akan terlihat strata atau golongan si empunya acara. Urut-urutan barisan nyongkolan kaum bangsawan terdiri paling depan disebut kebon odek berisi orang-orang yang membawa buah-buahan, sayuran, padi dan daun-daunan. Ini merupakan simbol atau gambaran dari kesuburan. Diikuti oleh pemucuk yakni rombongan orang tua-orang tua dari keluarga laki-laki.

                Di belakangnya diikuti oleh pembawa karas (besek besar berisi apa yang disukai penganten). Rombongan pembawa karas ini harus orang dari keluarga penganten yang merupakan abdi dalem keluarga sehingga tidak sembarang orang bisa ikut dalam barisan ini. Para perempuannya memakai pakaian lambung - pakaian adat Sasak. Di belakangnya diikuti oleh rombongan penganten dan pengiring serta pendamping penganten perempuan. Lalu rombongan penganten laki-laki.

                Di belakang rombongan penganten ini ada penggembira yang membawa ongsongan (oleh-oleh yang ditempatkan dalam sebuah miniatur rumah) yang dipikul beramai-ramai. Isinya ada buah kelapa dan lain-lain, yang begitu tiba tujuan nyongkol yakni kediaman penganten perempuan, oleh-oleh ini boleh diambil oleh masyarakat di kediaman penganten perempuan. Jadi bukan merupakan hantaran.

                Diikuti dengan pengiring kesenian khas Lombok seperti tawaq-tawaq, gendang beleq, rebana, gamelan, dan lain-lain. Di zaman dulu, ada yang disebut mendakim yakni kelompok perempuan yang menanti rombongan nyongkol di pintu gerbang desa (batas desa memasuki desa mempelai perempuan). Mereka menyiapkan buah-buahan untuk menjamu tamu nyongkol yang datang, semacam ucapan "selamat datang".

                Acara nyongkolan sebenarnya hanya sebentar saja, sekedar mempertemukan penganten perempuan dengan keluarganya setelah itu kembali kerumah penganten laki-laki. Nyongkolan sekaligus berfungsi sebagai pengumuman bahwa kedua mempelai sudah dikukuhkan. Dalam adat Sasak yang asli, pengumuman ini telah berlangsung sejak proses sejati dan selabar. Saat itu ada orang yang khusus membawa gong dalam rombongan kecil. Gong ini akan dipukul di setiap perempatan jalan yang dilalui. Jika orang mendengar ada gong yang dibunyikan, maka secara otomatis masyarakat mengetahui bahwa akan ada yang menikah. Acara nyongkol dilakukan antara waktu Dzuhur dan Ashar.

                Setelah acara nyongkol usai, bukan berarti berakhirlah acara perkawinan adat tersebut, namun masih ada beberapa acara penutupnya. Antara lain, tiga hari atau seminggu kemudian ada yang dinamakan bales ones nain. Acara ini merupakan napak tilas penganten dan rombongan keluarga dekat dalam sebuah ramah-tamah dari laki-laki ke pihak perempuan. Ini merupakan perkenalan lengkap seluruh keluarga besar kedua mempelai. Barulah setelah ini acara adat benar-benar berakhir.
Sumber Tulisan :                 
                        

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

MIDANG DALAM MASYARAKAT ADAT SASAK BAYAN

                Secara umum dalam masyarakat Sasak Lombok memang mengenal midang. Namun tidak demikian dengan masyarakat adat Sasak di Bayan Lombok Utara. Dalam proses perkenalan antara laki-laki dan perempuan dewasa di Bayan, tidak dikenal midang melainkan menggunakan istilah mekedek. Proses untuk mempertemukan anak laki-laki dan perempuan, merupakan ruang peran bagi orang tua dan keluarga.

                Dalam hal perjodohan, orang tualah yang akan berkomunikasi. Sedangkan anak-anak yang hendak dijodohkan, tidak berkomunikasi secara langsung. Dan dalam hal perjodohan ini, baik orang tua masing-masing maupun anak-anak, memiliki seorang kurir yang disebut Subandar. Subandar bertugas untuk menindaklanjuti komunikasi awal yang telah dilakukan antar orang tua. Dialah yang diutus secara khusus - biasanya berasal dari keluarga pihak laki-laki dan diutus oleh pihak laki-laki, untuk membicarakan hal perjodohan itu secara rinci sampai pada adanya kesepakatan untuk menyetujui hubungan anak-anak tersebut.

                Selain itu, Subandar memiliki tugas untuk menjembatani pihak laki-laki dan perempuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam proses perjodohan itu. Dalam tradisi masyarakat adat Sasak Bayan, pernikahan lebih diutamakan antar keluarga dengan maksud untuk tetap menyambung tali kekeluargaan antara orang tua juga anak-anaknya. Karena sisitem kekeluargaan dan kekerabatan tergolong kuat dalam masyarakat adat Bayan.

                Peran Subandar yang diutus oleh pihak keluarga laki-laki ini, terbilang penting. Karena salah satu tugasnya adalah mencari tahu tentang perempuan dan keluarganya yang sedang ditaksir keluarga pihak laki-laki. Menurut tokoh adat Bayan, bisa saja jika Subandar ,mengatakan tidak cocok, maka perjodohan itu bisa gagal.

                Jadi, Subandar- lah yang akan menjembatani komunikasi dan keinginan orang tua laki-laki dan perempuan. Demikian pula komunikasi yang dibangun oleh laki-laki dan perempuan yang dijodohkan tersebut, Subandar-lah yang akan menjadi jembatannya menyampaikan keinginan laki-laki  terhadap perempuan atau sebaliknya. Hal ini dilakukan, karena dalam masyarakat adat Sasak Bayan, antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah, tidak dapat bertemu.

Sumber Tulisan :                 

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.


BUDAYA SASAK : MBAIT (MENCURI PENGANTEN PEREMPUAN)

                Dalam merariq, segala proses yang terjadi dilakukan dengan tata cara adat. Setelah kedua belah pihak yang saling mengenal itu sepakat untuk menikah, maka merariq akan dilakukan. Kesepakatan merariq itu diwujudkan dengan membawa si calon penganten perempuan dengan cara " mencuri" diam-diam, sembunyi-sembunyi, atau dipalingkan dari orang tuanya. Benar-benar tanpa sepengetahuan orang tua ataupun orang tua pura-pura tidak tahu.

                Perempuan harus diambil dari rumahnya atau rumah walinya, tidak boleh diambil dari tempat kerja, di pasar, tidak boleh diambil pada siang hari melainkan pada malam hari, biasanya setelah magrib. Perempuan yang diambil itu haruslah di dampingi oleh perempuan lainnya dan harus ditempatkan di rumah orang lain atau sanak keluarga si laki-laki, tidak boleh di bawa ke rumah si laki-laki. Konsep merariq sesungguhnya merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan bagi hak asasi perempuan Sasak dalam memilih pendamping hidup tanpa intervensi orang tua.

                Bagi dua orang yang sepakat merariq, bisa telah diketahui oleh orang tua si perempuan sebelumnya, bisa juga tidak. Merariq terwujud dengan kesepakatan waktu mbait (mengambil perempuan dari rumah orang tuanya). Waktu mbait juga ditentukan dengan adat, yakni antara waktu Magrib dan Isya, tidak sembarang waktu. Waktu ini dinilai sebagai waktu paling baik untuk mbait. Bagi yang merariq tanpa persetujuan orang tua, maka waktu mbait pun menjadi tantangan tersendiri bagi calon mempelai terutama pihak laki-laki.

                Si perempuan harus pandai-pandai mengalihkan perhatian orang tua dan keluarga di rumah itu agar ia bisa dengan mudah keluar di waktu yang telah disepakati bersama si laki-laki. Demikian pula dengan pihak laki-laki yang biasanya membawa rombongan untuk "mengambil" sang gadis. Bagaimana tidak, rombongan pihak laki-laki harus pandai membaca situasi rumah si perempuan agar dengan aman bisa menjemput si calon penganten perempuan.

                Sama juga dengan midang, mbait juga punya tata cara dan aturan adat serta menjunjung nilai kesopanan. Saat mbait, dalam rombongan si laki-laki, ada sekelompok perempuan yang sudah dewasa yang bertugas menjemput si perempuan dari dalam rumah ataupun halaman rumahnya. Yang menjemput harus dewasa dan telah menikah, tidak boleh yang belum menikah. Si laki-laki dan rombongan lainnya berjaga-jaga di luar halaman rumah. Saat Mbait, ada yang sekali langsung berhasil, ada juga yang harus berkali-kali datang dan selalu gagal. Namun, bagi rombongan pihak laki-laki, ini bukan masalah. Di sinilah letak "seninya" merariq dalam adat Sasak, bagaimana bisa membawa si pujaan hari yang melewati rintangan berat.

                Setelah si calon penganten perempuan berhasil di bawa, maka tidak diperbolehkan membawanya ke rumah si laki-laki calon pengantin. Melainkan dibawa ke rumah keluarga atau kerabat atau kawan dari calon penganten laki-laki. Di sanalah si perempuan ini dititipkan sambil menanti proses berikutnya yakni menanti kesepakatan antara dua keluarga, baik keluarga si perempuan maupun laki-laki.

                Semua aturan adat dalam proses berumah tangga ala Sasak, sarat dengan nilai dan norma yang menjunjung tinggi hak -hak perempuan.

Sumber Tulisan :                 


Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

BUDAYA SASAK: MIDANG

Tradisi Nyongkol di Lombok, hingga kini masih merupakan bagian penting dari pernikahan adat Sasak. Baik di kota maupun di pelosok desa Lombok, nyongkol dapat ditemui. Bahkan, dalam sekali perjalanan di Lombok terutama waktu-waktu tertentu, misalnya hari Minggu, bisa ditemui banyak rombongan nyongkol di desa-desa yang dilalui.

                Tradisi ini masih sangat lekat dengan masyarakat Lombok. Nyongkol merupakan bagian dari prosesi pernikahan adat Sasak (Merariq). Merariq merupakan salah satu tradisi yang tetap dipertahankan oleh masyarakat Sasak secara turun-temurun. Masyarakat suku Sasak memiliki tata cara perkawinan khas yang penuh dengan nilai dan norma-norma.

                Proses perkenalan dalam masyarakat adat Sasak lahir dari proses sosial yang berawal dari sebuah acara adat. Biasanya, jarang masyarakat adat Sasak menaruh ketertarikan khusus pada seseorang karena sebuah perjumpaan yang tidak disengaja, pertemuan sepintas atau lainnya.

                Acara perkenalan ini biasanya menjadi bagian juga dari acara adat Sasak, misalnya dalam persiapan perhelatan perkawinan adat Sasak ataupun pada saat ada yang meninggal. Saat inilah rowah atau begawe itu dilakukan. Pada bagian tertentu dari begawe inilah, diselipkan kegiatan pendekatan bagi para terune atau dedare, baik yang sudah kenal maupun yang belum sama sekali.

                Di Lombok Selatan, dalam rowah pada saat ada yang meninggal, ada acara yang dikenal dengan ngamarin atau ngamer-ngamer (meramaikan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan). Saat inilah pendekatan itu dilakukan. Sedangkan dalam rowah/begawe perkawinan, acara khusus pendekatan ini dilakukan pada acara jelo jait, menjelang puncak acara. Di saat ini ada acara masak nasi, yang disebut bisoq beras (cuci beras). Saling mendekati dalam masyarakat Sasak, merupakan proses sosial yang dilembagakan secara adat.

                Saat rowah, terune (bujang) dan dedare (gadis) dengan sendirinya berkumpul untuk ikut membantu yang punya hajatan sekaligus datang meramaikan. Terune biasanya membantu pekerjaan-pekerjaan lain yang dibutuhkan selama kegiatan, sedangkan dedare datang untuk ngedang (persiapan untuk acara besok) di dapur.

                Pada saat inilah subandar (perantara) mulai berperan untuk menjodohkan satu dengan yang lain. Proses ini dikawal oleh orang dewasa yang berfungsi sebagai subandar tadi. Jika ada yang saling tertarik, maka subandar-lah yang membuka pembicaraan. Tidak resmi memang, melainkan mengikuti irama kegiatan tersebut.

                Saat ada yang mulai saling tertarik, maka selanjutnya mulai saling menyapa yang dikenal dengan nama endeng api (minta api). Para gadis Sasak datang dalam kegiatan ini dengan berdandan rapi. Saat dedare memasak, maka terune akan datang ke dapur untuk sekedar meminta api baik untuk membakar rokok maupun kebutuhan lain. Saat bertemu dengan yang membuatnya tertarik, maka akan ada komunikasi berupa bahasa simbol yang secara umum dalam masyarakat adat Sasak sudah dipahami bahwa mereka saling tertarik satu sama lain.

                Saat inilah mereka melanjutkan saling melempar pantun di antara hiruk-pikuk dan kesibukan orang menyiapkan konsumsi perhelatan. Akan terlihat kegiatan saling kenal ini seperti sambil lalu saja, padahal hal ini merupakan pranata budaya yang sengaja diciptakan oleh masyarakatnya. Dalam berbalas pantun inilah, dedare akan menguji kecerdasan, ketepatan dan kecepatan terune dalam menjawab pantun dedare. Dimulai dengan satu bait pantun berlanjut hingga bahkan lima bait. Terune diuji sejauh mana ia cepat dan tepat berpikir untuk menyampaikan maksudnya pada si dedare.

                Proses penyatuan dua insan untuk berumah tangga dalam kaca mata adat Sasak, sungguhlah sebuah proses yang agung dan bernilai budaya tinggi. Perempuan Sasak dalam konteks ini berada pada posisi yang sangat terhormat dan mulia dengan posisi tawar yang baik. Tingginya nilai perempuan Sasak dalam hal ini justru sejak proses pendekatan dan saling menjajaki dimulai. yang kemudian berlanjut pada acara yang disebut midang (dalam bahasa kekinian disebut ngapel).

                Midang merupakan sebuah proses pendekatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki (terune) dengan datang bertandang ke rumah perempuan (dedare) yang berstatus masih sendiri (belum terikat) untuk bertamu sekaligus saling mengenal satu sama lain.

                Jika dilihat dalam konsep awal perkenalan laki-laki dan perempuan Sasak, dalam hal midang, posisi tawar perempuan Sasak sebelum menikah cukup baik untuk mencegah terjadinya  tindak kekerasan terhadap perempuan. Midang substansinya mencoba saling mengenal satu sama lain ini menempatkan posisi tawar perempuan pada tempat yang baik di mana perempuan yang akan menentukan proses midang tersebut.

                Selama pengenalan awal, bahasa simbol selalu menyertainya, misalkan berupa pantun. Dan dalam pantun tersebut, akan ada sinyal bagi si terune apakah ia diterima untuk midang oleh si dedare. Dalam hal ini, perempuan Sasak memiliki nilai tawar tinggi karena ia bisa menentukan siapa laki-laki yang diperkenankannya untuk datang berkenalan lebih jauh dengan dirinya.

                Pada saat midang berlangsung, perempuan Sasak yang masih sendiri diperkenankan menerima tamu laki-laki lebih dari satu yang tujuannya untuk melakukan pendekatan dan menjajaki kemungkinan untuk menyatukan maksud dalam sebuah ikatan perkawinan.Budaya Sasak mengatur acara midang ini berlangsung secara bermartabat dan menjunjung tinggi norma-norma kesusilaan, kesopanan, hukum, dan agama. Masyarakat Sasak tunduk pada krama adat tentang tata cara, waktu dan tempat midang. Selama midang, laki-laki harus mlinggih, duduk dengan sopan dan menjaga jarak dengan perempuan, bertutur sapa yang santun penuh denga aturan adat istiadat.

                Di awal kedatangannya  untuk midang, terune berpakaian adat Sasak, minimal memakai sapuq (ikat kepala khas Sasak) atau bebat kain pengikat pinggang. Setelah itu, pada pertemuan selanjutnya bisa menggunakan pakaian lainya. Posisi duduk antara laki-laki dan perempuan ketika midang sangat berjauhan, tidak berdekatan, secara otomatis bahasa isyarat, bahasa simbol atau pun bahasa tanda yang lebih banyak difungsikan saat midang berlangsung.

                Saat midang, terune diterima di Bale Tangi (rumah berarsitektur khas Sasak). Selama midang, terune duduk di ujung kiri rumah dan dedare duduk di bawah pintu, tidak boleh berpindah tempat hingga kegiatan midang usai. Biasanya saat midang, akan ada beberapa laki-laki yang menanti giliran. Mereka menanti di luar rumah, jika yang satu sudah lebih dulu masuk untuk bertemu dedare, maka yang lain harus menanti giliran di luar, tidak boleh masuk.

                Antara yang di luar dan di dalam, dua-duanya sudah sama-sama mengerti bahwa ada yang menanti, jadi yang di dalam harus memberikan waktu untuk yang di luar. Demikian sebaliknya, yang di luar tidak boleh mengganggu (masuk) sebelum yang di dalam keluar. Semacam ada kesepakatan tidak resmi namun sangat dipatuhi. Ada kode khusus yang diberikan ketika pergantian itu berlangsung, berupa bahasa-bahasa simbolik untuk meminta yang di dalam keluar atau yang di luar masuk. Persaingan yang terjadi sangat fair dan beretika. Setiap laki-laki Sasak berhak melakukan kompetisi untuk mendapatkan perempuan tersebut.

                Selama midang inilah, terune dan dedare saling mengenal dan menjajaki lebih jauh satu sama lain. Dalam proses ini, perempuanlah yang menentukan siapakah laki-laki yang dipilihnya nanti. Jika ketertarikan itu telah ada, laki-laki belum sepenuhnya tahu apakah ia diterima oleh si dedare, karena bahasa-bahasa yang digunakan selama midang adalah bahasa simbolik saja. Maka untuk memastikan dirinya diterima atau ditolak, pada saat ada acara-acara penting seperti lebaran atau Maulud Nabi Muhammad SAW yang di Lombok dirayakan secara meriah, terune akan bertandang ke rumah dedare dengan membawa pengumbuk/pereweh (oleh-oleh)

                Oleh-oleh ini tidak dilihat dari nilai materinya melainkan sebagai simbol saja.  Jika oleh-oleh diterima, maka si terune memiliki peluang untuk terus bersama si dedare alias diterima. Jika tidak diterima, si dedare juga akan menyampaikannya dengan baik tentang penolakannya itu. Lagi-lagi perempuan Sasak, berhak menentukan siapa yang dipilihnya dari banyak laki-laki yang midang.

                Saat proses midang, orang tua juga mulai melihat laki-laki yang mendekati anak gadisnya. Jika ada terune yang juga disukai oleh orang tua, biasanya orang tua mulai mencari tahu tentang si terune tersebut. Salah satunya, orang tua memberi isyarat pada laki-laki tersebut dengan menyuruhnya melakukan sesuatu yang bersifat membantu orang tua. Restu orang tua pun dikatakan dengan cara simbolik.

                Pada masyarakat pendukung Bau Nyale, restu orang tua dari dedare pada si terune ini diwujudkan  dengan mengajaknya ke acara Bau Nyale ini. Bau Nyale adalah tradisi masyarakat Sasak menangkap Nyale (cacing) yang keluar di pesisir pantai di Lombok bagian selatan pada saat tertentu yang dipercaya  sebagai jelmaan Putri Mandalika dalam legenda masyarakat Sasak. Kalau sudah diajak ke Bau Nyale, maka ini berarti pengumuman kepada publik bahwa si terune telah dipilih oleh orang tua si dedare. Ini dikenal dengan istilah Mangan Besedi.

                Namun, bukan berarti si dedare juga sepakat dengan orang tua. Dedare memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya. Jika pilihan si dedare tidak disetujui orang tua maka bisa saja terjadi hubungan rahasia.


                Setelah kesepakatan-kesepakatan dicapai antara dua pihak dari perkenalan ini, maka penyatuan dalam sebuah ikatan pernikahan bisa berlanjut. Keunikan konsep pernikahan adat Sasak yang dikenal dengan merariq dimulai. Merariq tidak dilihat sebagai sebuah kata, tetapi istilah merariq diartikan sebuah sistem dan tidak bisa diterjemahkan setengah-setengah.

Sumber Tulisan :

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

SEJARAH NUSA TENGGARA BARAT (6)

                                                                                   
PERIODE KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

            Penataan administrasi wilayah Indonesia mulai dilakukan setelah proklamasi kemerdekaan RI, dengan membentuk delapan provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Kalimantan, sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil. Pada setiap provinsi diangkatlah seorang Gubernur untuk memimpin masing-masing wilayah Provinsi. Untuk provinsi Kepulauan Sunda Kecil diangkatlah Mr. I Goesti Ketut Poedja sebagai Gubernur pertama. Walaupun pengangkatan seorang Gubernur di Provinsi Sunda Kecil telah dilakukan dan Sultan Sumbawa menyatakan tetap bersimpati kepada Republik Indonesia, serta di Bima para pendukung kemerdekaan berkumpul dan menyatakan bersumpah setia kepada cita-cita kebangsaan, namun Belanda tidak mau menerima kenyataan dan tetap menyatakan bahwa wilayah tersebut masih dalam kekuasaannya.

            Keinginan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di bagian timur hindia Belanda menyebabkan munculnya konflik di mana-mana. Karena konflik yang berkepanjangan akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan  Konferensi Malino tanggal 15 - 25 Juli 1946 yang dihadiri Wakil Nasionalis dari Sumbawa, Muhammad Kaharoeddin (Sultan Sumbawa), Muhammad Salahoeddin (Sultan Bima), Oemboe Toenggoe Bili (Zelfbestuurder dari Memboro/Sumba), J. Th. Ximenes de Silva (Zelfbestuurder dari Sikka/Flores), Bapa Kajah dari Endeh, H.A. Koroh (zelfbestuurder dari Amarasi/Timor) dan Doko dari Timor. Dalam Konferensi Malino tersebut diputuskan pemimpin tradisional (raja) dan pemerintah Belanda berusaha menyatukan Residentie Timor dan daerah sekitarnya dengan Bali, Lombok, dan Pulau Selatan Daya. Disamping itu, pemerintah Belanda menyatakan bahwa Kepulauan Sunda Kecil akan digabungkan dengan Timur Besar untuk membentuk satu atau lebih federasi yang dapat dipimpin Kepulauan Sunda Kecil.

            Oleh karena belum ditemukannya kesepakatan dalam Konferensi Malino, selanjutnya dilaksanakan Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946. Konferensi ini dituntut untuk mengesahkan Undang-Undang yang menyetujui Perjanjian Linggarjati yang telah dilaksanakan pada tanggal 15 November 1946, yang di dalamnya diletakkan pembentukan Negara Timur Besar. Para wakil dari Timor, Flores, Sumba, dan Sumbawa menuntut penggabungan ke dalam satu daerah administrasi. Mereka sepakat dengan sultan yang lain (dari Bima dan Dompu) untuk menggabungkan diri dalam satu wilayah otonom dan dalam Negara Timur Besar yang memiliki hubungan federal dengan Negara Indonesia Serikat (NIS). Dalam Konferensi Denpasar dijelaskan bahwa daerah ini untuk sementara diorganisir sebagai Negara Indonesia Timur (NIT), yang semua bernama Negara Timur Besar yang didirikan pada 24 Desember 1946.

            Berdasarkan hasil dari Konferensi Denpasar tersebut dan dikuatkan dengan Staatsblad No.143 Tahun 1946, dinyatakan ada 13 daerah yang termasuk dalam Negara Indonesia Timur, yakni Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor, beserta pulau-pulau sekitarnya. Untuk daerah Sumbawa meliputi tiga landschappen yaitu, Bima, Dompu, dan Sumbawa. Sedangkan Lombok merupakan neolandschappen berdasarkan Staatsblad no.15 tahun 1947.

            Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur, wilayah Sunda Kecil termasuk di dalamnya Nusa Tenggara Barat menjadi salah satu negara bagian Negara Indonesia Timur. Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan Piagam Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949. Namun dalam perkembangannya, para elite Timor dan sekitarnya pada awal tahun 1950 mengusulkan dan mendesak kepada Republik Indonesia (RI) untuk menyatukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan RI. Pernyataan tersebut didukung oleh Dewan Raja-Raja dan Dewan - Dewan rakyat lainnya, partai-partai politik dan organisasi pergerakan di Sumbawa. Pada tanggal 9 Mei 1950 terbit pernyataan keluar dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Pemerintahan RI. Demikian juga dengan Lombok yang menyatakan meleburkan diri dalam wilayah RI yang pada saat itu berpusat di Yogyakarta.

            Sesudah beberapa kali melaksanakan pembicaraan antar negara bagian dalam Pemerintah RIS, akhirnya dicapai kesepakatan tanggal 19 Mei 1950 untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Status Provinsi Kepulauan Sunda Kecil diaktifkan kembali.

            Pada tahun 1954 terbit Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1954, yang merubah wilayah Provinsi Sunda Kecil menjadi Nusa Tenggara yang dibagi ke dalam tiga daerah Swatantra Tingkat I, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa dan Lombok) dan Nusa Tenggara Timur (Timor, Flores dan Sumba).

            Tahun 1957 terjadi lagi perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang No.1 Tahun 1957, yang membagi wilayah Nusa Tenggara menjadi tiga provinsi, yaitu Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Barat sekarang.

            Kemudian sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang No.18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, Daerah Swatantra Tingkat II dirubah menjadi kabupaten yang masing-masing dilengkapi dengan parlemen (DPR-GR) dan kepala daerah.

Sumber Tulisan :

Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia