BUDAYA SAMAWA : GUNTING BULU

Kelahiran seorang bayi dalam sebuah keluarga merupakan anugerah istimewa bagi seluruh anggota keluarga besar tersebut. Ini pertanda bertambahnya jumlah anggota keluarga yang akan mengisi garis-garis silsilah. Hal inilah yang membuat kelahiran bayi selalu mendapat perhatian khusus dari anggota keluarga dan orang tua, sehingga perlakuan dan kasih sayang istimewa pun tak ketinggalan dicurahkan bagi bayi tersebut. Maka, acara-acara dan syukuran hingga upacara adat pun mewarnai penyambutannya. Di kalangan umat muslim di Indonesia, biasanya penyambutan kelahiran bayi sekaligus sebagai ungkapan kebahagiaan keluarga yang mendapatkan anggota baru dalam keluarga tersebut, dilakukan dengan acara cukuran dan aqiqah.

                Namun, tidak sedikit yang menyelenggarakan acara-acara tersebut dengan sentuhan tradisi lokal yang kental. Syukuran kecil atau pun besar, bermakna sama; kebahagiaan bagi keluarga. Tradisi penyambutan bayi seperti ini di Sumbawa maupun Sumbawa Barat, dikenal dengan upacara adat Gunting Bulu (cukuran) dan Turin Tanak (turun tanah). Kedua acara ini umumnya digabung dalam satu kesempatan bersamaan dengan aqiqah dan pemberian nama, saat usia bayi berumur tujuh hari. Meski begitu tidak jarang yang melaksanakan satu atau dua acara saja, tergantung kesiapan terutama material untuk penyelenggaraan kegiatan tersebut.

                Tradisi Gunting Bulu dalam masyarakat Samawa masih dilakukan hingga saat ini. Dalam upacara adat Gunting Bulu, rambut anak tidak digundul atau dicukur hingga botak melainkan digunting secara simbolik saja. Pada rambut anak yang akan digunting, telah diikat untaian-untaian buah bulu yang terbuat dari emas, perak atau kuningan. Dulunya, buah bulu dibuat dari emas, sekarang emas lebih banya digantikan dengan perak dan kuningan. Buah bulu berbentuk daun yang terbuat dari perak dan kuningan tersebut dirangkai dengan sehelai benang. Tiap rangkaian berisi tiga buah bulu. Pada ujungnya diberikan malam atau lilin yang akan digunakan untuk melengketkan buah bulu pada rambut si bayi. Umumnya, pada rambut bayi yang akan dipotong digantung lima rangkaian buah bulu bahkan ada juga yang lebih.

                Tradisi ini menyerap kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah dahulu secara simbolik saja. Di zaman itu, anak usia tujuh hari rambutnya dicukur hingga gundul. Lalu rambut tersebut ditimbang seluruhnya. Maka seberat timbangan rambut itulah berat emas dan perak yang disedekahkan kepada fakir miskin. Buah bulu yang terbuat dari emas atau perak, sekarang lebih banyak dipakai sebagai simbol emas yang akan disedekahkan. Maka secara simbolik pula, pada saat rambut si bayi digunting bersamaan dengan  buah bulu yang digantung di rambutnya.

                Acara inti prosesi Gunting Bulu ini, akan dilaksanakan oleh pemangku adat dan tokoh-tokoh masyarakat yang diteladani. Gunting Bulu dilaksanakan dalam posisi berdiri. Semua undangan berdiri berjejer menyambut kedatangan si bayi, yang kelak diharapkan menjadi anak yang berguna bagi orang lain. Dalam gendongan sang ayah, bayi dibawa menuju Tetua atau pemangku adat yang akan menggunting rambutnya untuk pertama kali. Disertai doa-doa akan harapan baik bagi si bayi, rambutnya pun digunting bersamaan dengan buah bulu yang telah digantung pada rambutnya. Setelah pemangku adat selesai menggunting bulu si bayi, maka akan berlanjut dengan Gunting Bulu yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat, orang-orang yang dituakan dalam masyarakat setempat hingga buah bulunya habis.

                Rambut yang digunting dengan buah bulu tersebut dimasukkan ke dalam sebuah kelapa muda berukuran kecil dan berwarna kuning yang disebut dengan nyir gading berisi air dan bunga-bunga yang dikenal dengan bunga setaman. Ini merupakan simbolisasi bahwa tiap bagian dari manusia yang lahir itu demikian dihargai sehingga ditempatkan pada tempat yang baik (harum dengan bunga-bunga). Dari simbol bunga setaman ini, diharapkan anak tersebut kelak akan menjadi anak yang mandiri, memiliki pemikiran yang jernih dan mampu menyelesaikan persoalan-persoalan juga memiliki keluasan cara pandang dalam hidupnya sehingga meraih kemasyhuran atas dirinya.

                Sesuai dengan doa dan harapan dari orang tua si bayi dan juga masyarakat sekitarnya kelak ia mendapat tempat yang baik dalam kehidupannya karena perangai baik pula dalam bergaul. Kelapa muda yang dipakai sebagai wadah untuk menampung rambut tersebut, dibentuk bergerigi disekelilingnya yang disebut tumpal pucuk rembung.

                Setelah berakhirnya acara Gunting Bulu ini, ada juga yang langsung dirangkaikan dengan acara Turin Tanak (turun tanah) sebagai simbol bahwa si bayi harus sudah bersatu dengan alam tempat hidupnya. Berpijak di bumi yang akan ditempatinya selama ia hidup. Di bumi yang akan mewarnai perjalanan hidupnya kelak. Si bayi diperkenalkan dengan lingkungannya. Sebagai simbol ia menginjak bumi, biasanya tanah telah disiapkan dalam sebuah tampi (wadah untuk membersihkan beras khas Sumbawa). Kaki si bayi akan disentuhkan pada tanah tersebut.

                Upacara turun tanah ini juga biasanya diadakan saat anak berusia tiga bulan. Si anak dibawa turun ke tanah melewati tangga-tangga yang menjadi jalan naik menuju rumah panggung. Saat berada di tanah tersebut, sebuah jaring nelayan - jala dalam istilah masyarakat Sumbawa Barat, ramang dalam istilah Sumbawa, akan dilemparkan pada si anak yang didampingi kedua orang tuanya. Maka, yang akan kena jaring tersebut adalah si anak, ayah dan ibunya. Ini merupakan simbol si anak dan keluarganya diterima dalam lingkungan dan masyarakat sosialnya. Selain itu, makna jaring ini juga adalah untuk menjaring penyakit agar si anak terhindar dari sakit yang berbahaya.

                Dulu, dalam masyarakat tradisi Samawa, bayi-bayi tidak diperkenankan keluar rumah sebelum acara Turin Tanak sampai usia tiga bulan. Ia akan tetap berada di rumah dan tidak boleh keluar rumah. Tampaknya, cara tradisional ini juga sangat melindungi anak-anak karena tentu saja, selama tiga bulan itu ia akan selalu didampingi oleh ibunya yang tentu saja juga akan memberikan ASI padanya. Dan dalam masa itu, ia bisa mendapatkan ASI ekslusif. Begitu besar penghormatan masyarakat dalam tradisi Sumbawa terhadap anak yang dilahirkan. Sejak bayi ia telah diperlakukan secara mulia.

                Bagi kaum bangsawan dahulu, bayi-bayi yang baru lahir dari hari pertama lahir hingga berusia tujuh hari, tidak diperkenankan tidur di tempat tidur. Tidak diperkenankan bersentuhan langsung dengan perabotan yang dibuat manusia. Selama tujuh hari, tujuh malam, bayi-bayi ini selalu tidur dalam gendongan atau ayunan. Orang-orang yang berada di sekitarnyalah yang akan bergantian menggendongnya selama tujuh hari tujuh malam. Ini merupakan bukti bahwa dalam masyarakat tradisi Sumbawa, anak yang dilahirkan tersebut benar-benar dijaga dan dilindungi. Bahwa bayi-bayi yang baru lahir tersebut secara tidak langsung diajarkan beradaptasi dengan lingkungannya dengan perlahan-lahan, dengan tidak langsung menempatkannya pada tempat tidur melainkan terlebih dahulu pada gendongan. Upacara adat penyambutan bayi yang lahir dalam keluarga ini biasanya dilakukan bersamaan juga dengan aqiqah dan pemberian nama. Upacara adat ini memang tampak sangat sederhana, tetapi di balik itu menyimpan muatan-muatan nilai  yang positif bagi kehidupan manusia ke depannya.

Sumber Tulisan :                        
                              
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

0 komentar:

Posting Komentar