BUDAYA MBOJO : CAFI SARI

                Kebagiaan menerima anggota keluarga baru selalu dirayakan dengan berbagai kegiatan sebagai ungkapan rasa syukur akan kelahiran bayi dalam keluarga tersebut. Rangkaian kegiatan dalam menerima "tamu" baru itu, dalam tradisi masyarakat Mbojo, masih banyak dilakukan adalah Cafi Sari yakni kegiatan sederhana membersihkan bayi secara simbolik dari lumuran darah sesaat setelah bayi lahir. Hal ini biasanya dilakukan oleh dukun beranak atau di Dompu dikenal dengan nama Sando Nggando.

                Namun dalam perkembangannya, para keluarga melakukan kegiatan Cafi Sari ini selalu dirangkaikan dengan syukuran kelahiran sang bayi pada hari ketujuh atau setelah tali pusarnya jatuh atau dikenal dengan nama Mabu Woke.

                Sesungguhnya, Cafi Sari ini memiliki arti menyapu bale-bale. Menyapu juga dapat diartikan dengan membersihkan. Dalam bahasa Bima, Cafi Sari dalam hal ini mengadung arti membersihkan bale-bale dari kotoran serta darah ibu ketika melahirkan bayinya, agar rumah menjadi bersih dan menyediakan udara serta kondisi rumah yang baik bagi si bayi yang baru lahir. Masyarakat Mbojo tradisional, biasanya rata-rata memiliki bale bambu yang fungsinya sebagai tempat bersantai atau dulu, dipakai juga sebagai tempat melahirkan bagi para ibu. Bale bambu ini disebut dengan Sarangge. Di Sarangge inilah, bayi dilahirkan dibantu oleh Sando.

                Tradisi selanjutnya yang biasa dilakukan untuk bayi adalah ketika potong rambut yang biasanya dirangkaikan dengan aqiqah dan acara "turun tanah". Saat itu, telapak kaki bayi akan dibolehkan untuk bersentuhan langsung dengan tanah. Dalam prosesi tradisi ini, kaki bayi akan disentuhkan dengan tanah yang diambil dari tanah pada lingkungan masjid yang telah dihaluskan dan diletakkan padan daun pisang yang sangat muda yang baru keluar dari pucuk pohon pisang dalam keadaan masih melingkar, yang disebut Soro Kalo.

                Tanah yang diambil dari lingkungan masjid ini dianggap sebagai tanah suci, sebagai simbol bahwa bayi yang baru lahir itu dalam keadaan suci dan diperkenalkan dengan tempatnya nanti berpijak adalah tanah suci. Sekaligus sebagai simbol doa dari orang tua dan masyarakat sosialyang ikut terlibat dalam kegiatan ini, bahwa kelak bayi ini akan menjalani kehidupannya yang baik dan berjalan di jalan yang benar.

                Demikian pula dengan Soro Kalo, sebagai simbol kelahiran baru, belum sempat membuka daunnya dan masih sangat bebas dari kontaminasi lingkungannya. Sama artinya dengan bayi yang baru lahir, baru membuka mata, langsung menatap dunia yang penuh kebaikan. Sehingga dalam perjalanan hidupnya kelak, ia akan mengikuti hal-hal yang baik dan terhindar dari perbuatan dan hal-hal yang buruk.

                Injak tanah merupakan simbol, awal bahwa masyarakat suku Mbojo, mengajarkan bayi-bayi ini sebagai generasi penerus yang dapat berjalan pada jalan yang benar dengan harapan menanamkan rasa tanggung jawab untuk dapat menempatkan diri di mana pun ia berada untuk menjalani kehidupannya kelak. Di mana langit dijunjung, disitulah tanah dipijak. Peribahasa inilah yang secara tidak langsung menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Suku Mbojo, di Bima dan Dompu. Kemampuan beradaptasi dengan situasi dan keadaanlah yang diharapkan pada generasi penerusnya.

                Dalam tiap kegiatan tradisi dalam siklus hidup masyarakat Suku Mbojo, baik itu Kiri Loko, Cafi Sari, injak tanah, khitan, Saraso dan Peta Kapanca, selalu disertai dengan menghadirkan sesajian yang lengkap dari hasil bumi, panganan dan simbol-simbol lainnya seperti beras, padi , nasi , kelapa, buah-buahan, kue dan lilin serta lainnya. Ada pula periuk baru, kain kafan, benang putih dan sebagainya.

                Serangkaian sajian ini tidak  dimaknakan sebagai persembahan bagi kehidupan lain, melainkan sebagai simbol bahwa dalam kehidupan yang akan dijalani oleh bayi kelak atau anak-anak yang dikhitan maupun Saraso atau juga kepada calon penganten dalam Peta Kapanca, banyak sekali kekayaan bumi ini yang telah disiapkan oleh Sang Pencipta untuk kehidupannya kelak. Tinggal bagaimana kelak mereka dapat memanfaatkan kekayaan alam itu lewat tangan-tangan mereka yang bekerja di jalan yang benar dan diridhoi. Ini merupakan simbol ikhtiar dari yang berhajatuntuk memperkenalkan benda-benda tersebut sebagai sumber kehidupan bagi kehidupannya di masa depan.

                Diantara sajian yang selalu menjadi pelengkap tiap tradisi siklus masyarakat Mbojo ini, terdapat buah yang menggantung seperti kelapa. buah mangga dan lainnya. Ada pula umbi-umbian yang ada dalam tanah. Bahwa ada banyak  kekayaan alam yang tersedia bagi kehidupan manusia, di bumi maupun di dalam tanah. Serta banyak panganan yang diolah dari hasil bumi tersebut seperti kue-kue. Juga ada beras kuning dan padi yang disangrai sehingga mekar berwarna putih  dan tampak demikian cantik rupanya. Ini sebagai simbol mengajarkan kreativitas dalam mengolah sumber-sumber penghasilan nantinya. bahwa beras tidak mesti berwarna putih dan padi tidak mesti hanya ada dalam kulit arinya, melainkan dapat diolah dengan banyak cara. Adapun lilin sebagai simbol penerang bagi jalan-jalan kehidupan yang akan dilalui kelak.

                Sementara itu, periuk baru yang dililit kain kafan dan benang putih yang juga selalu dihadirkan merupakan simbol untuk mengingatkan bahwa dalam kehidupan manusia ada kelahiran (kehidupan baru) dan juga pasti akan ada kematian. Ketika manusia mati, maka ia hanya akan pulang dengan kain kafan yang dibuat dari benang-benang berwarna putih.

Sumber Tulisan :                        
                              
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.


0 komentar:

Posting Komentar