PERIODE
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Penataan
administrasi wilayah Indonesia mulai dilakukan setelah proklamasi kemerdekaan
RI, dengan membentuk delapan provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Nusa Tenggara, Kalimantan, sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan
Sunda Kecil. Pada setiap provinsi diangkatlah seorang Gubernur untuk memimpin
masing-masing wilayah Provinsi. Untuk provinsi Kepulauan Sunda Kecil
diangkatlah Mr. I Goesti Ketut Poedja
sebagai Gubernur pertama. Walaupun pengangkatan seorang Gubernur di Provinsi
Sunda Kecil telah dilakukan dan Sultan Sumbawa menyatakan tetap bersimpati
kepada Republik Indonesia, serta di Bima para pendukung kemerdekaan berkumpul
dan menyatakan bersumpah setia kepada cita-cita kebangsaan, namun Belanda tidak
mau menerima kenyataan dan tetap menyatakan bahwa wilayah tersebut masih dalam
kekuasaannya.
Keinginan
Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di bagian timur hindia Belanda
menyebabkan munculnya konflik di mana-mana. Karena konflik yang berkepanjangan
akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan
Konferensi Malino tanggal 15
- 25 Juli 1946 yang dihadiri Wakil Nasionalis dari Sumbawa, Muhammad Kaharoeddin (Sultan Sumbawa), Muhammad Salahoeddin (Sultan Bima), Oemboe Toenggoe Bili (Zelfbestuurder dari Memboro/Sumba), J. Th. Ximenes de Silva (Zelfbestuurder dari Sikka/Flores), Bapa Kajah dari Endeh, H.A. Koroh (zelfbestuurder dari Amarasi/Timor) dan Doko dari Timor. Dalam Konferensi
Malino tersebut diputuskan pemimpin tradisional (raja) dan pemerintah
Belanda berusaha menyatukan Residentie Timor dan daerah sekitarnya dengan Bali,
Lombok, dan Pulau Selatan Daya. Disamping itu, pemerintah Belanda menyatakan
bahwa Kepulauan Sunda Kecil akan digabungkan dengan Timur Besar untuk membentuk
satu atau lebih federasi yang dapat dipimpin Kepulauan Sunda Kecil.
Oleh
karena belum ditemukannya kesepakatan dalam Konferensi Malino, selanjutnya dilaksanakan Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946. Konferensi ini
dituntut untuk mengesahkan Undang-Undang yang menyetujui Perjanjian Linggarjati yang telah dilaksanakan pada tanggal 15
November 1946, yang di dalamnya diletakkan pembentukan Negara Timur Besar. Para
wakil dari Timor, Flores, Sumba, dan Sumbawa menuntut penggabungan ke dalam
satu daerah administrasi. Mereka sepakat dengan sultan yang lain (dari Bima dan
Dompu) untuk menggabungkan diri dalam satu wilayah otonom dan dalam Negara Timur Besar yang memiliki
hubungan federal dengan Negara Indonesia
Serikat (NIS). Dalam Konferensi Denpasar dijelaskan bahwa daerah ini untuk
sementara diorganisir sebagai Negara
Indonesia Timur (NIT), yang semua bernama Negara Timur Besar yang didirikan
pada 24 Desember 1946.
Berdasarkan
hasil dari Konferensi Denpasar tersebut dan dikuatkan dengan Staatsblad No.143 Tahun 1946,
dinyatakan ada 13 daerah yang termasuk dalam Negara Indonesia Timur, yakni Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi
utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan,
Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor, beserta pulau-pulau
sekitarnya. Untuk daerah Sumbawa meliputi tiga landschappen yaitu, Bima,
Dompu, dan Sumbawa. Sedangkan Lombok merupakan neolandschappen
berdasarkan Staatsblad no.15 tahun
1947.
Dengan
terbentuknya Negara Indonesia Timur,
wilayah Sunda Kecil termasuk di dalamnya Nusa Tenggara Barat menjadi salah satu
negara bagian Negara Indonesia Timur.
Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan Piagam Pengakuan
Kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh kerajaan Belanda pada 27 Desember
1949. Namun dalam perkembangannya, para elite Timor dan sekitarnya pada awal
tahun 1950 mengusulkan dan mendesak kepada Republik Indonesia (RI) untuk
menyatukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Indonesia Timur (NIT)
dengan RI. Pernyataan tersebut didukung oleh Dewan Raja-Raja dan Dewan - Dewan
rakyat lainnya, partai-partai politik dan organisasi pergerakan di Sumbawa.
Pada tanggal 9 Mei 1950 terbit pernyataan keluar dari Negara Indonesia Timur
(NIT) dan menggabungkan diri dengan Pemerintahan RI. Demikian juga dengan
Lombok yang menyatakan meleburkan diri dalam wilayah RI yang pada saat itu
berpusat di Yogyakarta.
Sesudah
beberapa kali melaksanakan pembicaraan antar negara bagian dalam Pemerintah
RIS, akhirnya dicapai kesepakatan tanggal 19 Mei 1950 untuk membentuk Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Status Provinsi Kepulauan Sunda Kecil
diaktifkan kembali.
Pada tahun
1954 terbit Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1954, yang merubah wilayah
Provinsi Sunda Kecil menjadi Nusa Tenggara yang dibagi ke dalam tiga daerah
Swatantra Tingkat I, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa dan Lombok) dan
Nusa Tenggara Timur (Timor, Flores dan Sumba).
Tahun
1957 terjadi lagi perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang No.1 Tahun
1957, yang membagi wilayah Nusa Tenggara menjadi tiga provinsi, yaitu Provinsi
Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Undang-Undang inilah yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Nusa Tenggara
Barat sekarang.
Kemudian
sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang No.18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur. Sementara itu, Daerah Swatantra Tingkat II dirubah menjadi
kabupaten yang masing-masing dilengkapi dengan parlemen (DPR-GR) dan kepala
daerah.
Sumber Tulisan :
Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia
Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar