SEJARAH NUSA TENGGARA BARAT (3)

PERIODE KOLONIAL

            Bangsa Eropa yang datang pertama kali ke tanah Nusa Tenggara adalah Portugis yang mendarat di Pulau Solor dan Timor tahun 1605. Pada saat yang sama bangsa Belanda juga datang ke Pulau Hitu dan Ambon di Maluku, dan akhirnya Ter Ver kapal Belanda pertama juga berlabuh di Kupang tahun 1611. Kedatangan bangsa Belanda mengakibatkan perselisihan yang panjang antara bangsa Portugis dan Belanda di Nusa Tenggara. Bangsa Belanda memberikan bantuan kepada raja-raja lokal yang menyalakan api perlawanan kepada bangsa Portugis. Belanda kemudian memperluas pengaruhnya di Nusa Tenggara, dengan melakukan berbagai perjanjian dengan raja-raja kecil di sekitar Pulau Sumbawa.

            Penetrasi pemerintahan kolonial Belanda yang begitu kuat di Indonesia semakin lama semakin membawa dampak nyata bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia pada umumnya. Salah satu akibat yang sangat luas, di bagian timur Indonesia adalah surutnya supremasi kekuasaan Kerajaan Gowa di Makassar pada akhir abad ke-17. Kaum bangsawan Gowa yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial menyingkir dari Makassar dan membangun kantong-kantong perlawanan di Nusa Tenggara Barat. Untuk menghadapi perlawanan tersebut, pemerintah kolonial mulai mengkonsentrasikan kekuasaan di wilayah Nusa Tenggara Barat. Hal ini diperkuat lagi dengan munculnya Lombok sebagai lalu lintas perdagangan internasional, sehingga keinginan Belanda untuk menguasai Nusa Tenggara Barat secara langsung semakin nyata.

            Menghadapi situasi yang demikian itu, pemerintah kolonial Belanda mengutus Stephen van Hegen untuk melihat dari dekat situasi Bima tahun 1660. Kedatangan orang Belanda tersebut mempengaruhi keadaan politik dan ekonomi di daerah ini. Pada tahun 1669, Kerajaan Bima di bawah Pemerintahan Sultan Ambela Abdul Khair Sirajuddin (1640 - 1682) atau Sultan Bima ke - 2, mengadakan ikatan perdamaian dan persahabatan dengan pemerintah kolonial dengan isi perjanjian seperti berikut:
1. Kesultanan Bima dan Dompu tidak akan menyerang Makassar
2. Untuk mempertahankan perdamaian, hanya anggota kompeni yang boleh mengunjungi wilayah Bima
3. Bima dan Makassar tidak akan mengadakan kontak sama sekali
4. Para padagang asing dari Eropa, India, Jawa, Malaya, Arab, Aceh, dan Champa tidak boleh mengadakan perdagangan dengan Bima, kecuali mendapat ijin khusus dari kompeni
5. Apabila hendak melakukan penyebaran agama Kristen harus minta ijin kepada Kesultanan Bima dan Dompu

            Dengan perjanjian tersebut Sultan Bima dan Dompu harus mengakui keberadaan kolonial Belanda. Sejak saat itu, Belanda berusaha mengkonsolidasi pengawasannya dengan cara memblokir pelabuhan Bima untuk mencegah datangnya bantuan dari Makassar atau dari negara asing lainnya. Usaha itu dilakukan agar pelabuhan yang ada di Bima dan juga di Pulau Lombok yang dianggap strategis tidak jatuh ke tangan Inggris.

            Supremasi kekuasaan Belanda yang sangat kuat tersebut, menyebabkan raja dan masyarakat di wilayah tersebut tidak dapat leluasa bergerak. Keadaan itu menjadi lebih parah lagi dengan meletusnya Gunung Tambora pada 5 April 1815, yang menggoncangkan seluruh kawasan tersebut dan akibatnya bisa dirasakan di seluruh Maluku, Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Meletusnya gunung Tambora ini mengakibatkan lenyapnya dua kerajaan, yaitu Tambora dan Papekat. Lebih dari 10.000 orang tewas. Lenyapnya dua kerajaan tersebut yang bersamaan dengan hancurnya lingkungan di sekitarnya berakibat pula pada hancurnya pranata sosial, penderitaan, dan kemiskinan masyarakat secara umum yang berkepanjangan.

            Dalam rangka memperbaiki keadaan tersebut, Sultan Bima ke-11, Sultan Abdullah (1854-1868), mengakui eksistensi pemerintah Belanda secara formal pada tanggal 19 November 1857, melalui perjanjian Plakat Panjang. Demikian juga dengan raja-raja di Sumbawa. Walaupun masih dapat menjalankan pemerintahan, tetapi kedaulatan dan kedudukan para raja serta perangkat pemerintahannya tidak dapat dilaksanakan secara penuh. Segala keputusan yang akan dijalankan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari wakil pemerintah Belanda di wilayah tersebut.

            Perjanjian Plakat Panjang tersebut berisi tiga hal penting, yaitu sebagai berikut :
1. Kesultanan Bima ditetapkan sebagai bagian dari pemerintahan hindia Belanda
2. Dilarang mempunyai hubungan dengan kekuasaan asing lainnya tanpa ijin pemerintah hindia Belanda
3. Pihak pemerintah hindia Belanda mempunyai kewenangan atas pajak dan memikul semua hak dan kewajiban pemerintahan.

            Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda memasukkan Residentie Timor en Onderhoorigheden (Karesidenan Timor dan sekitarnya) dan Residentie Celebes en Onderhoorig-heden (Karesidenan Sulawesi dan sekitarnya) ke dalam satu wilayah yang disebut de Gouvernement van Groote Oost (Pemerintahan Timur Besar). Pada waktu itu, Residentie van Timor en Onderhoorigheden terdiri atas Timor, Flores dan Sumba. Sedangkan Sumbawa masuk ke dalam wilayah Residentie Celebes en Onderhoorigheden. Sementara itu Lombok masuk ke dalam wilayah Residentie Bali en Lombok (Karesidenan Bali dan Lombok). Hal itu terjadi, ketika perlawanan masyarakat dan Kerajaan Mataram di Lombok dapat diredakan Belanda tahun 1894 ( artinya diperlukan waktu 224 tahun bagi Belanda sejak kedatangannya untuk menguasai Lombok, Sumbawa dan Bima )

            Setelah perang selesai Belanda menetapkan suatu bentuk pemerintahan yang baru di Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan Staatsblad No.181 Tahun 1895, tanggal 31 Agustus 1895, Pulau Lombok dijadikan satu wilayah afdeling tersendiri ibukotanya Ampenan. Dalam perkembangannya disebutkan bahwa berdasarkan keputusan gubernur jendral no. 19 tanggal 27 Agustus 1898, Lombok dibagi menjadi tiga onderafdeling, yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur.

            Pada tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Decentralisatiewet (Undang-undang Desentralisasi) yang memberikan kewenangan kepada daerah-daerah untuk mempunyai pemerintahan sendiri. Pada saat pembagian wilayah administratif di Nusa Tenggara Barat berlangsung, muncul gerakan -gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Belanda di wilayah itu. Perlawanan rakyat itu merupakan reaksi terhadap kehendak Belanda yang memaksakan rakyat untuk membayar pajak yang sangat membebani rakyat. Pada akhirnya terjadilah perang antara pihak rakyat setempat dengan Belanda. Adapun peperangan yang pernah dikobarkan rakyat di wilayah tersebut adalah Perang Undru di Taliwang Sumbawa tahun 1906, Perang Baham di Lunyuk Sumbawa tahun 1907, Perang Dena Bima tahun 1907, Perang Donggo Bima tahun 1907-1909, Perang Ngali Bima tahun 1908. Memang perlawanan-perlawanan rakyat yang tidak seimbang tersebut berhasil dipatahkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan persenjataannya yang lebih lengkap. Namun, semangat tak takut mati dan tak kenal menyerah para pahlawan terus hidup dalam sanubari rakyat NTB.

            Keberhasilan aksi militer yang dilancarkan di wilayah tersebut, menyebabkan Sumbawa  pada tahun 1909 dimasukkan ke dalam Residentie Timor en Onderhoorigheden. Berdasarkan keputusan gubernur jendral hindia Belanda no. 48 tahun 1909, tanggal 11 Febuari 1909 sebagaimana diumumkan dalam staasblad no.129 tahun 1909 dalam besluit tersebut dinyatakan bahwa Pulau Sumbawa dan bagian Barat Flores (Manggarai) masuk ke dalam afdeling Bima dipisahkan dari Residentie Celebes en Onderhoorigheden dan menjadi bagian dari Residentie Timor en Onderhoorigheden. Perjanjian ini ditandatangai di Bima oleh Bestuurder Bima, Ibrahim dan dari pihak Belanda, Alexander Johan Baron Quarles de Quarles. Disamping itu, Alexander Johan Baron Quarles de Quarles menandatangani juga perjanjian di Sumbawa dengan bestuurder Sumbawa, Muhammad Djalaloeddin. Sementara itu, di Dompu dilaksanakan perjanjian pula antara Gezaghebber sipil dari Bima Albert Adolf Banse dengan bestuurder Dompu, Siradjoeddin.

            Dengan perjanjian tersebut Residentie van Timor en Onderhoorigheden terdiri atas tiga afdeling, yaitu afdeling Timor dan pulau sekitarnya, afdeling Bima, afdeling Sumba dan Flores. Ketiga afdeling terdiri atas lima belas onderafdeling yang tersebar di banyak pulau. Otoritas di pulau-pulau iti dipegang oleh pemimpin lokal, yang bergelar Radja.

Sumber Tulisan :

Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia

2 komentar:

wahyudi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar