PERIODE
KOLONIAL
Bangsa
Eropa yang datang pertama kali ke tanah Nusa Tenggara adalah Portugis yang
mendarat di Pulau Solor dan Timor tahun 1605. Pada saat yang sama bangsa
Belanda juga datang ke Pulau Hitu dan Ambon di Maluku, dan akhirnya Ter Ver
kapal Belanda pertama juga berlabuh di Kupang tahun 1611. Kedatangan bangsa
Belanda mengakibatkan perselisihan yang panjang antara bangsa Portugis dan Belanda
di Nusa Tenggara. Bangsa Belanda memberikan bantuan kepada raja-raja lokal yang
menyalakan api perlawanan kepada bangsa Portugis. Belanda kemudian memperluas
pengaruhnya di Nusa Tenggara, dengan melakukan berbagai perjanjian dengan
raja-raja kecil di sekitar Pulau Sumbawa.
Penetrasi
pemerintahan kolonial Belanda yang begitu kuat di Indonesia semakin lama
semakin membawa dampak nyata bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia pada
umumnya. Salah satu akibat yang sangat luas, di bagian timur Indonesia adalah
surutnya supremasi kekuasaan Kerajaan Gowa di Makassar pada akhir
abad ke-17. Kaum bangsawan Gowa yang tidak mau tunduk kepada pemerintah
kolonial menyingkir dari Makassar dan membangun kantong-kantong perlawanan di
Nusa Tenggara Barat. Untuk menghadapi perlawanan tersebut, pemerintah kolonial
mulai mengkonsentrasikan kekuasaan di wilayah Nusa Tenggara Barat. Hal ini
diperkuat lagi dengan munculnya Lombok sebagai lalu lintas perdagangan
internasional, sehingga keinginan Belanda untuk menguasai Nusa Tenggara Barat
secara langsung semakin nyata.
Menghadapi
situasi yang demikian itu, pemerintah kolonial Belanda mengutus Stephen
van Hegen untuk melihat dari dekat situasi Bima tahun 1660. Kedatangan
orang Belanda tersebut mempengaruhi keadaan politik dan ekonomi di daerah ini.
Pada tahun 1669, Kerajaan Bima di bawah Pemerintahan Sultan Ambela Abdul Khair Sirajuddin
(1640 - 1682) atau Sultan Bima ke - 2, mengadakan ikatan perdamaian dan
persahabatan dengan pemerintah kolonial dengan isi perjanjian seperti berikut:
1. Kesultanan Bima dan Dompu tidak akan menyerang
Makassar
2. Untuk mempertahankan perdamaian, hanya anggota kompeni
yang boleh mengunjungi wilayah Bima
3. Bima dan Makassar tidak akan mengadakan kontak sama
sekali
4. Para padagang asing dari Eropa, India, Jawa, Malaya,
Arab, Aceh, dan Champa tidak boleh mengadakan perdagangan dengan Bima, kecuali
mendapat ijin khusus dari kompeni
5. Apabila hendak melakukan penyebaran agama Kristen
harus minta ijin kepada Kesultanan Bima dan Dompu
Dengan
perjanjian tersebut Sultan Bima dan Dompu harus mengakui keberadaan kolonial
Belanda. Sejak saat itu, Belanda berusaha mengkonsolidasi pengawasannya dengan
cara memblokir pelabuhan Bima untuk mencegah datangnya bantuan dari Makassar
atau dari negara asing lainnya. Usaha itu dilakukan agar pelabuhan yang ada di
Bima dan juga di Pulau Lombok yang dianggap strategis tidak jatuh ke tangan
Inggris.
Supremasi
kekuasaan Belanda yang sangat kuat tersebut, menyebabkan raja dan masyarakat di
wilayah tersebut tidak dapat leluasa bergerak. Keadaan itu menjadi lebih parah
lagi dengan meletusnya Gunung Tambora pada 5 April 1815, yang menggoncangkan
seluruh kawasan tersebut dan akibatnya bisa dirasakan di seluruh Maluku, Jawa,
Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Meletusnya gunung Tambora ini mengakibatkan
lenyapnya dua kerajaan, yaitu Tambora dan Papekat. Lebih dari 10.000 orang
tewas. Lenyapnya dua kerajaan tersebut yang bersamaan dengan hancurnya
lingkungan di sekitarnya berakibat pula pada hancurnya pranata sosial,
penderitaan, dan kemiskinan masyarakat secara umum yang berkepanjangan.
Dalam
rangka memperbaiki keadaan tersebut, Sultan Bima ke-11, Sultan Abdullah
(1854-1868), mengakui eksistensi pemerintah Belanda secara formal pada tanggal
19 November 1857, melalui perjanjian Plakat Panjang. Demikian
juga dengan raja-raja di Sumbawa. Walaupun masih dapat menjalankan
pemerintahan, tetapi kedaulatan dan kedudukan para raja serta perangkat
pemerintahannya tidak dapat dilaksanakan secara penuh. Segala keputusan yang
akan dijalankan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari wakil
pemerintah Belanda di wilayah tersebut.
Perjanjian
Plakat Panjang tersebut berisi tiga hal penting, yaitu sebagai berikut
:
1. Kesultanan Bima ditetapkan sebagai bagian dari
pemerintahan hindia Belanda
2. Dilarang mempunyai hubungan dengan kekuasaan asing
lainnya tanpa ijin pemerintah hindia Belanda
3. Pihak pemerintah hindia Belanda mempunyai kewenangan
atas pajak dan memikul semua hak dan kewajiban pemerintahan.
Pada
akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda memasukkan Residentie Timor en
Onderhoorigheden (Karesidenan Timor dan sekitarnya) dan Residentie
Celebes en Onderhoorig-heden (Karesidenan Sulawesi dan sekitarnya) ke
dalam satu wilayah yang disebut de Gouvernement van Groote Oost
(Pemerintahan Timur Besar). Pada waktu itu, Residentie van Timor en
Onderhoorigheden terdiri atas Timor, Flores dan Sumba. Sedangkan
Sumbawa masuk ke dalam wilayah Residentie Celebes en Onderhoorigheden.
Sementara itu Lombok masuk ke dalam wilayah Residentie Bali en Lombok
(Karesidenan Bali dan Lombok). Hal itu terjadi, ketika perlawanan masyarakat
dan Kerajaan Mataram di Lombok dapat diredakan Belanda tahun 1894 ( artinya
diperlukan waktu 224 tahun bagi Belanda sejak kedatangannya untuk menguasai
Lombok, Sumbawa dan Bima )
Setelah
perang selesai Belanda menetapkan suatu bentuk pemerintahan yang baru di Nusa
Tenggara Barat. Berdasarkan Staatsblad No.181 Tahun 1895,
tanggal 31 Agustus 1895, Pulau Lombok dijadikan satu wilayah afdeling
tersendiri ibukotanya Ampenan. Dalam perkembangannya disebutkan bahwa
berdasarkan keputusan gubernur jendral no. 19 tanggal 27 Agustus 1898, Lombok
dibagi menjadi tiga onderafdeling, yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok
Timur.
Pada
tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Decentralisatiewet
(Undang-undang Desentralisasi) yang memberikan kewenangan kepada daerah-daerah
untuk mempunyai pemerintahan sendiri. Pada saat pembagian wilayah administratif
di Nusa Tenggara Barat berlangsung, muncul gerakan -gerakan perlawanan rakyat
terhadap kekuasaan Belanda di wilayah itu. Perlawanan rakyat itu merupakan
reaksi terhadap kehendak Belanda yang memaksakan rakyat untuk membayar pajak
yang sangat membebani rakyat. Pada akhirnya terjadilah perang antara pihak
rakyat setempat dengan Belanda. Adapun peperangan yang pernah dikobarkan rakyat
di wilayah tersebut adalah Perang Undru di Taliwang Sumbawa
tahun 1906, Perang Baham di Lunyuk Sumbawa tahun 1907, Perang Dena Bima tahun
1907, Perang Donggo Bima tahun 1907-1909, Perang Ngali Bima tahun
1908. Memang perlawanan-perlawanan rakyat yang tidak seimbang tersebut berhasil
dipatahkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan persenjataannya yang lebih
lengkap. Namun, semangat tak takut mati dan tak kenal menyerah para pahlawan
terus hidup dalam sanubari rakyat NTB.
Keberhasilan
aksi militer yang dilancarkan di wilayah tersebut, menyebabkan Sumbawa pada tahun 1909 dimasukkan ke dalam Residentie
Timor en Onderhoorigheden. Berdasarkan keputusan gubernur jendral hindia Belanda
no. 48 tahun 1909, tanggal 11 Febuari 1909 sebagaimana diumumkan dalam staasblad
no.129 tahun 1909 dalam besluit tersebut dinyatakan bahwa Pulau
Sumbawa dan bagian Barat Flores (Manggarai) masuk ke dalam afdeling Bima dipisahkan
dari Residentie
Celebes en Onderhoorigheden dan menjadi bagian dari Residentie
Timor en Onderhoorigheden. Perjanjian ini ditandatangai di Bima oleh Bestuurder
Bima, Ibrahim dan dari pihak Belanda, Alexander Johan Baron Quarles de
Quarles. Disamping itu, Alexander Johan Baron Quarles de Quarles
menandatangani juga perjanjian di Sumbawa dengan bestuurder Sumbawa,
Muhammad Djalaloeddin. Sementara itu, di Dompu dilaksanakan perjanjian
pula antara Gezaghebber sipil dari Bima Albert Adolf Banse dengan
bestuurder Dompu, Siradjoeddin.
Dengan
perjanjian tersebut Residentie van Timor en Onderhoorigheden terdiri atas tiga afdeling,
yaitu afdeling Timor dan pulau sekitarnya, afdeling Bima, afdeling
Sumba dan Flores. Ketiga afdeling terdiri atas lima belas onderafdeling
yang tersebar di banyak pulau. Otoritas di pulau-pulau iti dipegang oleh
pemimpin lokal, yang bergelar Radja.
Sumber Tulisan :
Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia
Sumber Tulisan :
Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia
2 komentar:
Posting Komentar