Kelahiran
seorang bayi adalah salah satu anugrah istimewa bagi seluruh anggota keluarga
besar. Ini pertanda bertambahnya jumlah
anggota keluarga yang akan mengisi garis-garis silsilah. Hal inilah yang
membuat kelahiran bayi mendapat perhatian khusus dari orang tua dan keluarga.
Perlakukan dan kasih sayang istimewa pun tidak ketinggalan bagi bayi tersebut.
Acara - acara dan syukuran - syukuran mewarnai penyambutannya. Yang umum
dilakukan adalah cara cukuran dan aqiqah - bagi muslim. Namun, tidak sedikit
yang menyelenggarakan acara-acara berbau tradisi untuk menyambut sang bayi.
Syukuran kecil ataupun besar, bermakna sama, yakni kebahagiaan. Masyarakat
Sasak Lombok, memiliki tradisi memberi nama pada bayi yang disebut dengan Praq api.
Tradisi praq api dalam masyarakat Sasak umumnya
masih dilakukan hingga saat ini, terutama bagi masyarakat pedesaan. Praq api berarti perapian. Dalam
masyarakat Sasak, keluarga yang menyambut kelahiran bayi membuat perapian di
dekat ibu dan bayi tersebut untuk menghangatkannya. Perapian ini dibuat dalam
tungku gerabah atau sejenis baskom dari tanah yang dibakar dengan kayu yang
paling sedikit menimbulkan asap agar tidak mengganggu bayi dan ibunya. Perapian
yang menghangatkan ini juga diberi wewangian untuk kenyamanan ibu dan bayi dari
bau amis darah dan lainnya. Perapian tersebut dibuat selama tujuh hari
berturut-turut hingga keduanya relatif sehat kembali dan biasanya di hari
ketujuh itulah pusat bayi putus atau dikenal dengan harinya petoq poset. Saat petoq poset inilah acara praq
api diadakan yakni acara pemberian nama yang disandang secara resmi oleh
bayi Sasak.
Praq api bukan hanya dilakukan oleh kaum
bangsawan Sasak, melainkan secara umum bagi masyarakat biasa juga. Motong siung, merupakan sajian khas yang
harus ada dalam setiap acara praq api.
Motong siung ini adalah sejenis
penganan khas Sasak untuk acara tradisi ini yang dibuat dari ketan yang
disangrai dan diberi gula serta kelapa, yang nantinya akan dimakan
beramai-ramai oleh para undangan yang hadir sebagai simbol si bayi diterima
kehadirannya dalam masyarakat sosial. Bagi yang masih memegang tradisi
penyambutan bayi ala Sasak, yang juga harus ada pada saat bayi lahir adalah Lempot Umbaq (kain gendongan). Kain ini
sengaja khusus ditenun bersamaan dengan hari kelahiran bayi dan kain yang
ditenun kilat tersebut mulai difungsikan.
Kini,
meskipun tradisi praq api masih tetap
dilakukan, pembuatan perapian yang diperuntukkan ibu dan bayi saat lahir hingga
hari ke tujuh, tidak lagi umum dilakukan. Mereka yang sesekali masih membuat
perapian tersebut adalah masyarakat di daerah-daerah tertentu, misalnya di Desa
Setangor, Lombok Selatan. Tetapi, setiap melaksanakan tradisi praq api, Motong siung selalu ada. Praq
api bagi masyarakat Sasak, dilakukan sebagai pengikat anak dengan tradisi
leluhurnya. Secara umum tradisi ini dilakukan pada hari ketujuh setelah bayi
lahir, karena secara umum pusat bayi putus hari ketujuh. Namun, jika pada hari
ketujuh pusat bayi belum putus, tidak akan mengganggu acara praq api. Substansinya, adalah mengikat
anak dengan tradisi itu.
Upacara tradisi
praq api merupakan acara syukuran
yang dilakukan dengan sederhana, ditandai dengan pemberian sembeq pada bayi. Sembeq
yaitu tanda merah pada dahi bagian tengah persis pada pangkal hidung bayi yang
terbuat dari kapur sirih atau pinang - sirih pinang dan sebagainya - yang
umumnya dikunyah. Tentu disertai dengan doa-doa khusus untuk kebaikan si bayi
selama hidupnya. Atau yang biasa dikenal juga dengan jampi-jampi sebagai
pengusir makhluk halus agar tidak mengganggu si bayi. Bayi juga "dijaga"
secara tradisional dengan bawang putih yang dipeniti pada bagian bajunya.
Sumber Tulisan :
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa, dan Mbojo.Penerbit : Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.
Sumber Tulisan :
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa, dan Mbojo.Penerbit : Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.
0 komentar:
Posting Komentar