BUDAYA SASAK: MIDANG

Tradisi Nyongkol di Lombok, hingga kini masih merupakan bagian penting dari pernikahan adat Sasak. Baik di kota maupun di pelosok desa Lombok, nyongkol dapat ditemui. Bahkan, dalam sekali perjalanan di Lombok terutama waktu-waktu tertentu, misalnya hari Minggu, bisa ditemui banyak rombongan nyongkol di desa-desa yang dilalui.

                Tradisi ini masih sangat lekat dengan masyarakat Lombok. Nyongkol merupakan bagian dari prosesi pernikahan adat Sasak (Merariq). Merariq merupakan salah satu tradisi yang tetap dipertahankan oleh masyarakat Sasak secara turun-temurun. Masyarakat suku Sasak memiliki tata cara perkawinan khas yang penuh dengan nilai dan norma-norma.

                Proses perkenalan dalam masyarakat adat Sasak lahir dari proses sosial yang berawal dari sebuah acara adat. Biasanya, jarang masyarakat adat Sasak menaruh ketertarikan khusus pada seseorang karena sebuah perjumpaan yang tidak disengaja, pertemuan sepintas atau lainnya.

                Acara perkenalan ini biasanya menjadi bagian juga dari acara adat Sasak, misalnya dalam persiapan perhelatan perkawinan adat Sasak ataupun pada saat ada yang meninggal. Saat inilah rowah atau begawe itu dilakukan. Pada bagian tertentu dari begawe inilah, diselipkan kegiatan pendekatan bagi para terune atau dedare, baik yang sudah kenal maupun yang belum sama sekali.

                Di Lombok Selatan, dalam rowah pada saat ada yang meninggal, ada acara yang dikenal dengan ngamarin atau ngamer-ngamer (meramaikan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan). Saat inilah pendekatan itu dilakukan. Sedangkan dalam rowah/begawe perkawinan, acara khusus pendekatan ini dilakukan pada acara jelo jait, menjelang puncak acara. Di saat ini ada acara masak nasi, yang disebut bisoq beras (cuci beras). Saling mendekati dalam masyarakat Sasak, merupakan proses sosial yang dilembagakan secara adat.

                Saat rowah, terune (bujang) dan dedare (gadis) dengan sendirinya berkumpul untuk ikut membantu yang punya hajatan sekaligus datang meramaikan. Terune biasanya membantu pekerjaan-pekerjaan lain yang dibutuhkan selama kegiatan, sedangkan dedare datang untuk ngedang (persiapan untuk acara besok) di dapur.

                Pada saat inilah subandar (perantara) mulai berperan untuk menjodohkan satu dengan yang lain. Proses ini dikawal oleh orang dewasa yang berfungsi sebagai subandar tadi. Jika ada yang saling tertarik, maka subandar-lah yang membuka pembicaraan. Tidak resmi memang, melainkan mengikuti irama kegiatan tersebut.

                Saat ada yang mulai saling tertarik, maka selanjutnya mulai saling menyapa yang dikenal dengan nama endeng api (minta api). Para gadis Sasak datang dalam kegiatan ini dengan berdandan rapi. Saat dedare memasak, maka terune akan datang ke dapur untuk sekedar meminta api baik untuk membakar rokok maupun kebutuhan lain. Saat bertemu dengan yang membuatnya tertarik, maka akan ada komunikasi berupa bahasa simbol yang secara umum dalam masyarakat adat Sasak sudah dipahami bahwa mereka saling tertarik satu sama lain.

                Saat inilah mereka melanjutkan saling melempar pantun di antara hiruk-pikuk dan kesibukan orang menyiapkan konsumsi perhelatan. Akan terlihat kegiatan saling kenal ini seperti sambil lalu saja, padahal hal ini merupakan pranata budaya yang sengaja diciptakan oleh masyarakatnya. Dalam berbalas pantun inilah, dedare akan menguji kecerdasan, ketepatan dan kecepatan terune dalam menjawab pantun dedare. Dimulai dengan satu bait pantun berlanjut hingga bahkan lima bait. Terune diuji sejauh mana ia cepat dan tepat berpikir untuk menyampaikan maksudnya pada si dedare.

                Proses penyatuan dua insan untuk berumah tangga dalam kaca mata adat Sasak, sungguhlah sebuah proses yang agung dan bernilai budaya tinggi. Perempuan Sasak dalam konteks ini berada pada posisi yang sangat terhormat dan mulia dengan posisi tawar yang baik. Tingginya nilai perempuan Sasak dalam hal ini justru sejak proses pendekatan dan saling menjajaki dimulai. yang kemudian berlanjut pada acara yang disebut midang (dalam bahasa kekinian disebut ngapel).

                Midang merupakan sebuah proses pendekatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki (terune) dengan datang bertandang ke rumah perempuan (dedare) yang berstatus masih sendiri (belum terikat) untuk bertamu sekaligus saling mengenal satu sama lain.

                Jika dilihat dalam konsep awal perkenalan laki-laki dan perempuan Sasak, dalam hal midang, posisi tawar perempuan Sasak sebelum menikah cukup baik untuk mencegah terjadinya  tindak kekerasan terhadap perempuan. Midang substansinya mencoba saling mengenal satu sama lain ini menempatkan posisi tawar perempuan pada tempat yang baik di mana perempuan yang akan menentukan proses midang tersebut.

                Selama pengenalan awal, bahasa simbol selalu menyertainya, misalkan berupa pantun. Dan dalam pantun tersebut, akan ada sinyal bagi si terune apakah ia diterima untuk midang oleh si dedare. Dalam hal ini, perempuan Sasak memiliki nilai tawar tinggi karena ia bisa menentukan siapa laki-laki yang diperkenankannya untuk datang berkenalan lebih jauh dengan dirinya.

                Pada saat midang berlangsung, perempuan Sasak yang masih sendiri diperkenankan menerima tamu laki-laki lebih dari satu yang tujuannya untuk melakukan pendekatan dan menjajaki kemungkinan untuk menyatukan maksud dalam sebuah ikatan perkawinan.Budaya Sasak mengatur acara midang ini berlangsung secara bermartabat dan menjunjung tinggi norma-norma kesusilaan, kesopanan, hukum, dan agama. Masyarakat Sasak tunduk pada krama adat tentang tata cara, waktu dan tempat midang. Selama midang, laki-laki harus mlinggih, duduk dengan sopan dan menjaga jarak dengan perempuan, bertutur sapa yang santun penuh denga aturan adat istiadat.

                Di awal kedatangannya  untuk midang, terune berpakaian adat Sasak, minimal memakai sapuq (ikat kepala khas Sasak) atau bebat kain pengikat pinggang. Setelah itu, pada pertemuan selanjutnya bisa menggunakan pakaian lainya. Posisi duduk antara laki-laki dan perempuan ketika midang sangat berjauhan, tidak berdekatan, secara otomatis bahasa isyarat, bahasa simbol atau pun bahasa tanda yang lebih banyak difungsikan saat midang berlangsung.

                Saat midang, terune diterima di Bale Tangi (rumah berarsitektur khas Sasak). Selama midang, terune duduk di ujung kiri rumah dan dedare duduk di bawah pintu, tidak boleh berpindah tempat hingga kegiatan midang usai. Biasanya saat midang, akan ada beberapa laki-laki yang menanti giliran. Mereka menanti di luar rumah, jika yang satu sudah lebih dulu masuk untuk bertemu dedare, maka yang lain harus menanti giliran di luar, tidak boleh masuk.

                Antara yang di luar dan di dalam, dua-duanya sudah sama-sama mengerti bahwa ada yang menanti, jadi yang di dalam harus memberikan waktu untuk yang di luar. Demikian sebaliknya, yang di luar tidak boleh mengganggu (masuk) sebelum yang di dalam keluar. Semacam ada kesepakatan tidak resmi namun sangat dipatuhi. Ada kode khusus yang diberikan ketika pergantian itu berlangsung, berupa bahasa-bahasa simbolik untuk meminta yang di dalam keluar atau yang di luar masuk. Persaingan yang terjadi sangat fair dan beretika. Setiap laki-laki Sasak berhak melakukan kompetisi untuk mendapatkan perempuan tersebut.

                Selama midang inilah, terune dan dedare saling mengenal dan menjajaki lebih jauh satu sama lain. Dalam proses ini, perempuanlah yang menentukan siapakah laki-laki yang dipilihnya nanti. Jika ketertarikan itu telah ada, laki-laki belum sepenuhnya tahu apakah ia diterima oleh si dedare, karena bahasa-bahasa yang digunakan selama midang adalah bahasa simbolik saja. Maka untuk memastikan dirinya diterima atau ditolak, pada saat ada acara-acara penting seperti lebaran atau Maulud Nabi Muhammad SAW yang di Lombok dirayakan secara meriah, terune akan bertandang ke rumah dedare dengan membawa pengumbuk/pereweh (oleh-oleh)

                Oleh-oleh ini tidak dilihat dari nilai materinya melainkan sebagai simbol saja.  Jika oleh-oleh diterima, maka si terune memiliki peluang untuk terus bersama si dedare alias diterima. Jika tidak diterima, si dedare juga akan menyampaikannya dengan baik tentang penolakannya itu. Lagi-lagi perempuan Sasak, berhak menentukan siapa yang dipilihnya dari banyak laki-laki yang midang.

                Saat proses midang, orang tua juga mulai melihat laki-laki yang mendekati anak gadisnya. Jika ada terune yang juga disukai oleh orang tua, biasanya orang tua mulai mencari tahu tentang si terune tersebut. Salah satunya, orang tua memberi isyarat pada laki-laki tersebut dengan menyuruhnya melakukan sesuatu yang bersifat membantu orang tua. Restu orang tua pun dikatakan dengan cara simbolik.

                Pada masyarakat pendukung Bau Nyale, restu orang tua dari dedare pada si terune ini diwujudkan  dengan mengajaknya ke acara Bau Nyale ini. Bau Nyale adalah tradisi masyarakat Sasak menangkap Nyale (cacing) yang keluar di pesisir pantai di Lombok bagian selatan pada saat tertentu yang dipercaya  sebagai jelmaan Putri Mandalika dalam legenda masyarakat Sasak. Kalau sudah diajak ke Bau Nyale, maka ini berarti pengumuman kepada publik bahwa si terune telah dipilih oleh orang tua si dedare. Ini dikenal dengan istilah Mangan Besedi.

                Namun, bukan berarti si dedare juga sepakat dengan orang tua. Dedare memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya. Jika pilihan si dedare tidak disetujui orang tua maka bisa saja terjadi hubungan rahasia.


                Setelah kesepakatan-kesepakatan dicapai antara dua pihak dari perkenalan ini, maka penyatuan dalam sebuah ikatan pernikahan bisa berlanjut. Keunikan konsep pernikahan adat Sasak yang dikenal dengan merariq dimulai. Merariq tidak dilihat sebagai sebuah kata, tetapi istilah merariq diartikan sebuah sistem dan tidak bisa diterjemahkan setengah-setengah.

Sumber Tulisan :

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

0 komentar:

Posting Komentar