BUDAYA SAMAWA : BISO TIAN

               Dari semua keistimewaan yang dimiliki oleh perempuan, mengandung dan melahirkan merupakan keistimewaan yang paling tinggi nilainya. Suka cita menjalani masa-masa mengandung adalah kenimatan tersendiri bagi masing-masing calon ibu. Bukan hanya calon ibu yang bersuka cita, keluarga besar pun ikut merasakan semaraknya suasana rumah ketika kehamilan salah satu anggota keluarga dikabarkan. Utamanya kabar kehamilan anak pertama.

                Kehamilan pertama biasanya mendapatkan perlakuan lebih ketimbang kehamilan kedua dan seterusnya, baik dari ibu si calon bayi maupun keluarga. Salah satu bentuk perlakuan khusus tersebut adalah melakukan tradisi Biso Tian. Biso Tian merupakan tradisi tujuh bulanan seperti juga di berbagai daerah di Indonesia dengan beragam cara dan kebiasaan. Biso Tian bertujuan sebagai ungkapan kebahagiaan menanti bayi pertama dari seorang ibu. Selain itu, meramaikan acara tujuh bulanan khas Sumbawa ini juga untuk memberikan kekuatan dan semangat kepada si calon ibu yang baru pertama kali akan mengalami proses luar biasa dalam hidupnya, yaitu melahirkan,

                Selain itu, Biso Tian juga dilakukan sekaligus sebagai acara syukuran atas kehamilan tersebut dan ungkapan suka cita bagi seluruh keluarga besar dari calon bayi pertama dari seorang ibu tersebut. Tentu saja, melihat perhatian dan tanggapan yang besar dari seluruh keluarga besar tersebut, membuat sang ibu yang tengah memepersiapkan diri melahirkan untuk pertama kalinya akan terbantu secara psikis, bahwa anak bahwa anak yang akan dilahirkannya dinanti dengan suka cita oleh keluarganya. Dalam tradisi Biso Tian, berbagi rezeki pun menyertainya.

                Tradisi Biso Tian di Sumbawa maupun Sumbawa Barat dilakukan saat usia kandungan memasuki bulan ketujuh. Biso Tian dilakukan pada tiap kehamilan namun yang diutamakan adalah kehamilan pertama. Dalam tradisi ini, terkadang tidak harus pada kehamilan bulan ketujuh, melainkan juga biasanya dilakukan pada bulan kedelapan atau kesembilan, tergantung kesiapan terutama kesiapan finansial sebuah keluarga. Dipilihnya bulan ketujuh untuk melaksanakan tradisi ini, lebih karena bayi dalam kandungan calon ibu telah utuh menjadi seorang manusia yang tengah berkembang semakin matang dan siap untuk dilahirkan pada saatnya tiba.

                Dalam prosesi Biso Tian, terdapat banyak sekali simbol dan makna kehidupan pada setiap tahapan prosesnya. kain berwarna-warni tujuh lapis dipakai sebagai alas tidur oleh ibu hamil selama prosesi berlangsung. Tujuh lapis kain ini melambangkan bahwa kehidupan manusia itu betapa tinggi nilainya serupa tujuh lapis bumi dan langit yang kerap diumpamakan terhadap alam semesta ini. Sebuah pegu (wadah khas suku Samawa terbuat dari kuningan) berisi beras berwarna-warni; hitam, hijau, merah muda dan putih. Yang berwarna putih adalah khusus dibuat dari padi yang disangrai sampai mekar. Beras warna-warni sebagai pelengkap prosesi ini merupakan lambang kemakmuran yang diharapkan dari sang bayi yang akan lahir. Sebuah lilin yang diletakkan di atas sebutir kelapa, sebagai lambang harapan bahwa kelak si bayi akan menjalani kehidupan di jalan yang benar dan lurus yang disimbolkan dengan lilin yang menyala.

                Di sisi lain tempat prosesi berlangsung, terdapat sebuah wadah batu ukuran besar yang disebut Teleku 'Batu berisi air yang di dalamnya terdapat macam-macam kembang. Air kembang dari wadah batu ini nantinya akan dipakai untuk memandikan calon ibu. Mandi kembang bagi calon ibu, semacam sakralisasi diri untuk menghadapi saat-saat menakjubkan dalam hidupnya ketika melahirkan nanti. Yang tidak kalah pentingnya adalah setumpuk uang receh atau logam yang sengaja disiapkan . Jumlah dan pecahannya, tidak terbatas, tergantung kemampuan yang berhajat. Uang logam inilah yang paling ditunggu-tunggu oleh semua ibu-ibu yang hadir dalam acara tersebut.

                Dalam setiap acara Biso Tian di Sumbawa Barat, selalu disertai dengan makan rujak bersama bagi seluruh undangan yang hadir. Ada kebersamaan secara tidak langsung yang dibangun dalam membuat dan makan rujak bersama ini. Jadi, bukan hanya calon ibu yang biasanya saat ngidam saja yang suka makan rujak, tapi seluruh undangan seolah-olah ikut merasakan seperti apa yang dirasakan oleh calon ibu tersebut. Tujuannya tidak lain untuk memberikan sumbangan semangat bagi si calon ibu, bahwa ibu-ibu disekitarnya pun ikut merasakan apa yang dirasakan calon ibu tersebut. Semacam memberi kekuatan secara psikis bagi calon ibu sehingga calon ibu tersebut senantiasa bahagia menantu masa-masa persalinannya.

                Dalam tiap acara adat Biso Tian, seorang yang disebut dengan Sandro Tamang (dukun beranak), memegang peranan yang sangat penting dalam prosesi ini. Sandro Tamang adalah seorang yang diberi kepercayaan oleh masyarakat adat Samawa menjadi "sutradara" acara ini karena memiliki keahlian secara turun temurun. Tidak banyak yang berprofesi sebagai Sandro Tamang, hanya merek ayang memiliki keahlian secara turun menurun yang diakui secara adat.

                Diawali dengan memandikan calon ibu dengan air kembang, Biso Tian pun dimulai. Doa-doa untuk kemudahan dan kebaikan bagi calon ibu mengalir dari bibir Sandro Tamang sepanjang mandi kembang berlangsung. Guyuran lembut yang dipenuhi bunga-bunga tentu saja memberikan kenyamanan bagi calon ibu dan bayi yang dikandungnya. Setelah itu, sang calon ibu mempercantik penampilannya dengan memakai pakaian adat Sumbawa khusus untuk ibu hamil, menuju prosesi inti Biso Tian.

                Di atas alas yang disiapkan khusus, calon ibu tidur dengan nyaman. Alas khusus ini terdiri dari selembar tikar yang dibuat secara khusus juga, orang Sumbawa menyebutnya Samparumpu. Tikar ini adalah tikar khas masyarakat adat Samawa yang diyakini mampu menangkal hal-hal negatif yang mengarah pada calon ibu dan bayinya. Un tuk melindunginya secara supranatural dari kemungkinan-kemungkinan niat jahat dari alam lain. Tidak itu saja. Di atas Samparumpu tersebut diletakkan pula tujuh lapis kain berwarna-warni sebagai alas lapisan kedua. Dan pada lapisan ketiga akan diletakkan kembali tujuh lapis kain lagi. Dan di atas kain inilah, calon ibu ditidurkan.

                Tujuh orang perempuan akan mengambil peran saat acara inti Biso Tian ini. Selain Sandro Tamang, terdapat enam orang lainnya yang akan ikut terlibat dalam prosesi inti Biso Tian yang disebut Mengas Mentar (mengangkat perut calon ibu menggunakan kain kemudian digoyangkan secara lembut). Enam orang lainnya adalah perempuan yang ditokohkan atau yang diteladani di kampung tersebut.

                Saat lilin yang diletakkan di atas sebutir kelapa pada pegu berisi beras dinyalakan, Mengas Mentar pun dimulai. Selembar kain pada lapisan teratas di bagian kiri dan kanan perut calon ibu, akan dipegang oleh Sandro Tamang. Dengan perlahan, Sandro Tamang akan mengangkat sedikit kain tersebut sembari menggerak-gerakkannya secara lembut. Perut calon ibu pun terangkat dan bergoyang-goyang lembut sekali. Usai melakukan Mengas Mentar, Sandro Tamang mengeluarkan kain lapisan teratas yang sudah dipakai tersebut sehingga meninggalkan enam kain dari lapisan ketiga tadi. Hal yang sama kemudian diikuti oleh keenam perempuan pilihan tersebut. Dan setiap lapis kain yang telah dipakai Mengas Mentar itu, dikeluarkan tumpukan lapisan tempat tidur calon ibu. Ada kenyamanan yang akan dirasakan calon ibu selama Mengas Mentar ini berlangsung sehingga calon ibu tampak tenang. Harapannya senyaman dan setenang inilah nanti calon ibu saat menjalani proses persalinan. Simbol harapan untuk kemudahan proses melahirkan juga ada pada telur diolesi dengan minyak yang diusapkan dari ubun-ubun hingga ujung telapak kaki sang calon ibu.

                Proses Mengas Mentar memberi gambaran secara alami, seperti sebuah kotak yang berisi sesuatu yang penuh namun tidak sesak, ketika isinya tersebut akan dikeluarkan, maka untuk memudahkan mengeluarkan isi tersebut, biasanya akan digoyang-goyang dahulu agar benda yang berada dalam kotak tidak lengket pada dinding-dinding kotak tersebut sehingga mudah dikeluarkan. Tampaknya, masyarakat adat Samawa memaknai prosesi ini dengan belajar dari alam meski secara media belum ditemukan kaitannya. Bagi masyarakat tradisional, niat dan tujuan baik dari sebuah kegiatan adatlah yang menjadi panutan mereka.

                Mengas Mentar usai, calon ibu bangkit. Dalam gendongan baju calon ibu, telah diletakkan tiga kain yang diletakkan saat Mengas Mentar dan uang logam. Calon ibu kemudian perlahan menuju pintu rumah di mana di halaman rumah telah dipenuhi undangan. Saat inilah acara yang paling ditunggu oleh undangan yang lebih banyak para ibu, berebut uang logam. Membuang kain dan uang logam ini memiliki makna tersendiri. Membuang kain yang dipakai Mengas Mentar secara simbolik ini bermakna bahwa si ibu tengah menghindari hal-hal buruk yang akan terjadi pada dirinya dan bayi yang dikandungnya. Agar segala proses persalinan berjalan lancar seperti yang diharapkan. Sedangkan menyebar uang logam adalah simbol berbagi rezeki.

                Diikuti oleh salah seorang keluarga yang memegang pegu berisi beras warna-warni yang di dalamnya juga terdapat uang logam yang banyak, di depan pintu rumah calon ibu mulai berbagi dengan melemparkan kain yang dipakai saat Mengas Mentar tersebut dan logam-logam dari gendongan bajunya. Uang logam tersebut disebar ke berbagai tempat para undangan yang sedari tadi bersiap untuk saling rebut setiap receh yang dilemparkan oleh calon ibu. Suasana pun seketika pecah, riuh oleh sorak dan lengkingan gembira para ibu yang saling rebut uang receh tersebut. Para undangan pun bersuka cita saling rebut uang logam dan dengan bangga mengangkat logam tersebut jika mendapatkannya. Inilah acara paling seru dan ramai dalam acara Biso Tian. Histeria dan kegaduhan akan sangat tampak saat ini ketika para ibu ini adu cepat dan tepat untuk mendapatkan uang logam.

                Dalam acara rebutan logam ini, miskin dan kaya tidak ada bedanya. Karena yang direbut bukan nilai uangnya, tapi logam yang diterjemahkan sebagai berkah. Semakin banyak yang bisa diperoleh dengan cara rebutan, maka dianggap semakin besar berkah rezekinya. Logam dalam acara Biso Tian yang disebar calon ibu ini, bukanlah sembarang logam. Ia memiliki makna yang sangat berarti bagi mereka yang mendapatkannya. Uang logam ini diyakini dapat membawa berkah karena tentu saja, saat calon ibu menyebar uang logam tersebut selalu disertai dengan doa, meski pun tidak terucap, agar anaknya menjadi anak yang mulia bagi dirinya dan juga masyarakat. Doa ibu adalah berkah yang paling tinggi, yang paling agung bagi seorang anak. Dan logam inilah simbol keberkahan yang menempati posisi tertinggi.

                Hal inilah yang membuat para ibu berebut logam dalam tiap upacara adat Biso Tian. Sebenarnya mereka tidak sedang berebut uang logam karena nilainya tidak seberapa, tapi mereka tengah merebut berkah yang nilainya sangatlah tinggi. Maka, harapan dari mereka yang mendapatkan uang logam tersebut adalah segala upaya dan usaha serta ikhtiar yang dilakukannya dalam kehidupannya dapat tercapai seperti mendapatkan berkah bak doa ibu. Mereka yang berdagang biasanya akan menyimpan uang logam ini sebagai penglaris dagangannya. Harapannya, orang akan ramai belanja dagangannya seramai dan seriuh mereka yang berebut uang logam dalam acara ini. Demikian pula dengan lainnya.

                Pada bagian akhir upacara ini digelar acara makan rujak bersama. Calon ibu dan calon ayah (suami istri) akan mendatangi para tamu undangan untuk mengantarkan makan rujak. Bermacam-macam buah dengan rasa yang beragam, manis, asam, asin dan pahit yang menjadi bahan rujak tersebut bukan sekedar pelengkap acara melainkan simbol pertemuan rasa orang tua calon bayi dengan masyarakat yang kompleks dalam kehidupan bermasyarakatnya. Beragam rasa tersebut juga dapat mewakili kehidupan sosial masyarakat yang tidak selamanya senang, tidak pula selamanya pahit atau sedih.

                Tradisi Biso Tian dalam kebanyakan masyarakat Suku Samawa adalah tradisi yang mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan dengan yang lainnya, bersosialisasi dan memiliki tenggang rasa dan juga saling berbagi dalam pergaulan sehari-hari. Simbol-simbol ini jelas ada pada tradisi ini.

Sumber Tulisan :                        
                              
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

                                                                         

BUDAYA SASAK: MERARIQ

Dalam hal perkawinan, Lombok dikenal masih sangat kental dengan prosesi adatnya. Tidak hanya di pelosok-pelosok desanya, pun di kota masih dapat ditemukan dengan mudah masyarakat melaksanakan upacara-upacara adat yang berkaitan dengan perkawinan atau yang dikenal dengan merariq. Nilai-nilai adat yang termanifestasikan dalam semangat tradisi yang kental masih dijalankan oleh masyarakatnya, termasuk dalam hal proses berumah tangga, sejak perkenalan hingga saling mengenal lebih jauh (midang) yang puncaknya adalah merariq.

                Dalam aturan adat Sasak, usia pernikahan bagi seorang perempuan memang tidak disebutkan secara verbal, melainkan ada ukuran tertentu yang dianggap bahwa perempuan tersebut cukup umur untuk berumah tangga. Kriteria perempuan yang dianggap cukup umur untuk berumah tangga menurut adat Sasak, ukurannya dilihat dari "kalau ia sudah bisa menenun dan bisa mengantar makanan ke sawah dengan cara dijunjung". Filosofinya adalah bahwa ketika seorang perempuan sudah bisa menenun berarti ia telah terampil. Proses sampai perempuan bisa menenun itulah dianggap sebagai pengalaman dalam mempersiapakan diri untuk dewasa. Ia pun dianggap bisa bekerja. Demikian juga dengan ketika ia telah bisa berjalan menuju sawah untuk mengantar makanan bagi keluarga yang bekerja dengan cara dijunjung. Ini berarti ia telah memiliki keseimbangan yang baik. Orang yang telah mampu menjaga keseimbangan, secara tidak langsung dianggap telah dewasa.

                Setelah proses  mbait berhasil dan calon penganten perempuan ditempatkan di rumah salah seorang kerabat laki-laki, maka mulailah proses adat yang lebih serius menuju kesepakatan keluarga untuk menikahkan mereka. Proses selanjutnya tidak hanya melibatkan keluarga dari pihak laki-laki dan perempuan melainkan juga melibatkan masyarakat sosial dan institusi resmi seperti desa atau kecamatan. Dalam waktu paling lambat tiga hari setelah perempuan dibawa "lari", maka kepala dusun tempat si laki-laki berdomisili akan melakukan kepada kepala dusun asal si calon penganten perempuan, bahwa si perempuan tidaklah hilang melainkan sengaja diambil oleh si laki-laki yang berasal dari dusun mereka. Pemberitahuan antar lokasi dan tempat ini yang melibatkan antarinstitusi sosial dalam tradisi Sasak disebut sejati. Di Lombok Utara khususnya Bayan, proses ini disebut mejati. Sejati merupakan proses pemberitahuan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, yang dilakukan antar institusi pemerintah dari kedua belah pihak dalam hal ini kepala desa, kepala lingkungan atau kepala kampung.

                Proses berikutnya disebut selabar. setelah antar dusun telah saling mengetahui, maka tahap berikutnya adalah kepala dusun beserta keluarga dari pihak laki-laki yang diantar oleh kepala dusun dari pihak perempuan secara resmi akan melakukan pemberitahuan kepada keluarga si perempuan. Dalam prosesi pernikahan adat Sasak bukan hanya menjadi urusan keluarga si calon penganten, melainkan juga secara langsung juga melibatkan masyarakat sosial pada tahapan tertentu seperti sejati dan selabar. Masyarakat sosial ini diwakili oleh perangkat dari institusi resmi seperti kepala dusun dan kepala lingkungan. Selabar bisa saja berlangsung beberapa kali, sebabnya bisa karena keluarga perempuan belum berkumpul semua untuk membahas diterima atau tidaknya proses selabar tersebut secara adat. Diterima secara adat - melibatkan urutan strata sosial seperti bangsawan atau tidak, atau diterimanya secara agama (Islam).

                Jika si perempuan bukanlah seorang bangsawan, bisa saja proses selabar-nya tidak diterima secara adat tapi diterima secara agama (oleh keluarga tinggal memberikan wali maka proses pernikahan selesai). Tidak lagi ada prosesi adat yang lain. Namun, jika selabar diterima maka akan berlanjut ke proses adat berikutnya, yakni pihak keluarga laki-laki akan datang lagi bersama dengan pemuka agama dan kyai untuk menemui keluarga pihak perempuan guna meminta wali nikah bagi si perempuan. Meminta wali juga, ada aturannya sendiri. Rombongan selabar tadi masuk terlebih dahulu bertemu dengan keluarga perempuan untuk memberitahukan maksud kedatangan mereka bersama tokoh agama dan kyai tersebut.

                Dalam rombongan selabar ini terdiri dari Panji sebagai juru bicara keluarga, kepala dusun dan kepala lingkungan dari pihak laki-laki. Penerima selabar juga dengan komposisi yang sama. Setelah rombongan selabar keluar barulah pemuka agama dan kyai bersama keluarga terdekat pihak laki-laki dan juru bicaranya masuk untuk secara resmi meminta wali nikah bagi si perempuan. Ketika selabar dinyatakan diterima dan wali diberikan, maka mulailah keluarga kedua belah pihak merencanakan acara akad nikah dan resepsi (jika ada).

                Maka prosesi berikutnya adalah rombongan peminta wali akan datang secara adat untuk menjemput wali di saat akad nikah akan dilaksanakan di kediaman laki-laki. Proses ini disebut menuntut wali, yang dilakukan oleh kyai atau penghulu dari desa pihak laki-laki yang datang ke rumah orang tua si perempuan untuk meminta keikhlasan dinikahkan dengan laki-laki pilihannya. Saat penjemputan ini maka pihak laki-laki sebelumnya telah menanyakan kepada pihak perempuan berapa jumlah rombongan dari pihak perempuan yang akan menghadiri akad nikahnya nanti. Oleh pihak laki-laki akan disiapkan kendaraan untuk menjemput rombongan keluarga perempuan. Semua biaya hingga akad nikah usai ditanggung oleh pihak laki-laki. Karena ini ketentuan adat, maka semuanya berlaku fair, tidak ada yang saling merasa tidak enak soal biaya, karena telah dibicarakan dengan detail pada proses-proses adat sebelumnya.

                Dua hari berselang, rombongan pihak laki-laki akan datang kembali ke pihak perempuan untuk sebuah proses yang disebut bait bande atau mencari tahu apa yang dibebankan oleh pihak perempuan kepada pihak laki-laki untuk prosesi adat selanjutnya seperti sorong serah. Di sini mulai dibicarakan dan berdiskusi tentang biaya atau kontribusi masing -masing yang disesuaikan dengan rencana begawe, apakah begawe dengan cara begawe utama, begawe madya atau begawe nista.

                Ada juga yang menyebut proses ini sebagai abot enteng (bait janji). Proses musyawarah antara utusan pihak laki-laki kepada pihak perempuan menyangkut tata cara penyelesaian pernikahan tersebut. Apakah dilakukan dengan tata cara utama (tertinggi), madya(menengah) ayau wiyasa (biasa). Musyawarah juga dilakukan menyangkut kesepakatan hari pelaksanaan pernikahan, nyongkolan dan sorong serah aji krame.

                Dalam prosesi ini ditentukan apa saja yang akan dijadikan seserahan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan. Seserahan bisa berupa kebutuhan untuk perhelatan seperti kerbau dan beras. Untuk menyerahkan segala kebutuhan begawe ini, maka ada namanya acara adat atung bande, yakni mengantar semua kebutuhan begawe secara resmi. Rombongan yang datang biasanya diiringi gamelan dan bunyi-bunyian.

                Sebelum acara nyongkolan berlangsung sebagai prosesi berikutnya dalam perkawinan adat Sasak dilakukan kegiatan sorong serah aji krame yang dilaksanakan oleh tokoh adat yang datang kepada pihak keluarga perempuan sebagai ungkapan rasa suka cita kedua belah pihak keluarga. Dan melengkapi seluruh rangkaian adat dalam pernikahan masyarakat Sasak adalah bales ones nae (napak tilas), di mana rombongan keluarga terdekat pihak mempelai laki-laki mendatangi rumah keluarga perempuan dan dilaksanakan silahturahmi dan saling memaafkan.

                Sederhananya proses saling kenal hingga menikah dalam tradisi Sasak adalah diawali dengan midang, merariq, sejati, selabar, menuntut wali, abot enteng (bait janji), upacara begawe dan bales ones nae (napak tilas).

Sumber Tulisan :                 
                        
Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

                                                                                                                                                                   

BUDAYA SASAK : NYONGKOL

Salah satu acara inti dalam prosesi perkawinan adat Sasak adalah Sorong Serah dan Nyongkolan (tradisi arak-arakan pengantin menuju rumah mempelai wanita). Selama proses perkawinan adat Sasak dilakukan, kegiatan berupa begawe inti yang diselenggarakan di keluarga laki-laki pun dimulai, yang disebut dengan Rowah Angkat Gawe. Diadakan selamatan untuk memulai begawe tersebut dengan doa dan dzikir. Acara ini biasanya diikuti oleh para lelaki. Sedangkan perempuan Sasak juga memiliki acara sendiri yang disebut dengan betangko (malam khusus untuk tamu-tamu perempuan yang datang ke undangan begawe). Sedangkan pada jelo gawe (hari pestanya), ada penerimaan tamu-tamu adat baik laki-laki ataupun perempuan.

                Seluruh prosesi adat pun dilangsungkan hingga akhirnya tiba saat untuk akad nikah yang kemudian dilanjutkan dengan Sorong Serah dan Nyongkoloan.

                Sorong Serah Aji Krama yang berfungsi sebagai pengukuhan perkawinan secara adat biasanya dilakukan sehabis waktu Dzuhur. Dalam acara ini, pihak laki-laki dan perempuan masing-masing diwakili sekelompok masyarakat adat yang terdiri dari juru bahasa adat atau yang disebut Pembayun, Kepala Desa sebagai Pengemong Adat dan Kepala Dusun sebagai Pamong Adat.

                Dalam Sorong Serah ini, penentu Aji Krama (nilai adat) dari orang yang bersangkutan dikaitkan dengan strata sosial dan dalam adatnya. Misalnya, bagi mereka yang bangsawan atau yang dikenal dengan kalangan menak disebut dengan aji status (seratus), kalangan menengah atau yang dikenal dengan perbape disebut aji enam dase enam (enam puluh enam). Sedangkan bagi kalangan biasa atau jajar karang, disebut aji telung dase telu (tiga puluh tiga). Hal ini dimaksudkan sebagai hak keluarga baru dalam adat Sasak.

                Aji sendiri dapat dibagi menjadi dua yakni napak lemah (injak tanah) yang menggambarkan kesanggupan keluarga baru tersebut untuk kehidupan keluarga ke depan. Biasanya ini disimbolkan dengan materi berupa sejumlah uang dan emas tergantung stratanya. Juga ada yang disebut dengan olen, yakni kesanggupan dari laki-laki untuk melindungi keluarganya dengan memberikan sandang pangan, pakaian, dan memenuhi kebutuhan lahir batinnya. Olen simbolnya berupa kain. jumlah kain tergantung aji-nya.

                Sebagai pengiring atau penyertaan dari aji ini yang disebut dengan jajar kemiri terdiri dari salin dende yang merupakan hantaran sebagai ucapan terima kasih kepada ibu dari mempelai perempuan. Simbolnya berupa periuk, terompong untuk peniup api tungku, kain ceraken, besek berupa kotak-kotak penyimpan bumbu, dan obat-obatan. Ini diserahkan pada ibu si mempelai perempuan. Selain itu ada juga yang disebut sebagai penjaruman, dimaksudkan untuk menjalin kekeluargaan antara keluarga perempuan dan laki-laki yang menikah. Simbolnya berupam materi, yakni uang.

                Juga ada yang disebut dengan babas kute. Biasanya mempelai laki-laki dari desanya akan datang ke desa perempuan dengan cara nyongkolan. Maka akan ada beberapa desa yang akan dilalui oleh rombongan nyongkolan tersebut. Rombongan ini akan menyiapkan semacam oleh-oleh atau hadiah yang diberikan kepada setiap desa yang dilaluinya. Simbolnya berupa uang.

                Selanjutnya ada kau tindu, yang sebenarnya tidak wajib menjadi pengiring atau penyerta dari aji dan jarang disertakan. Ini berupa tambahan yang isinya kadang-kadang hadiah besar yang dibawa oleh mempelai laki-laki untuk mempelai perempuan. Hadiah ini, bisa berupa emas. Ada yang penting juga yang disebut sirah aji (kepala dari semua aji krama). Simbolnya berupa kain kembang komak tenun hitam bergaris-garis putih sebagai lambang kehidupan dan juga kain kafan dan sebilah keris. ini melambangkan penyerahan diri penganten laki-laki sepenuhnya kepada mertuanya (orang tua mempelai perempuan).

                Pada akhir proses sorong serah, jika terjadi kesepakatan, maka antar pembayun penyorong dari pihak laki-laki dan pembayun penampi dari pihak perempuan, akan menyatakan "atas ijin dari sidang adat perempuan (maksudnya mempelai perempuan) saya terima" (maksudnya perempuan ini diterima secara adat). Prosesi ini disebut dengan pegat aji krama. Salah seorang tokoh adat akan diminta untuk megat tali jinah, biasanya menggunakan kepeng bolong yang diikat kemudian diputus sebagai pertanda berakhirnya sorong serah.

                "Yen sampun puput pembaosan pegat tali jinah tau onang kebaos maliq", yang artinya jika sudah putus pembicaraan dengan memegat tali jinah, maka tidak boleh dibicarakan lagi. Maka setelah itu usailah semua prosesi adat pernikahan Sasak. Acara dilanjutkan dengan nyongkol (mengarak penganten menuju rumah mempelai perempuan).

                Upacara nyongkolan juga memiliki aturan dan tata cara adat. Bagi para bangsawan rombongan berjumlah tertentu disertai simbol-simbol adat. Dari simbol-simbol tersebut akan terlihat strata atau golongan si empunya acara. Urut-urutan barisan nyongkolan kaum bangsawan terdiri paling depan disebut kebon odek berisi orang-orang yang membawa buah-buahan, sayuran, padi dan daun-daunan. Ini merupakan simbol atau gambaran dari kesuburan. Diikuti oleh pemucuk yakni rombongan orang tua-orang tua dari keluarga laki-laki.

                Di belakangnya diikuti oleh pembawa karas (besek besar berisi apa yang disukai penganten). Rombongan pembawa karas ini harus orang dari keluarga penganten yang merupakan abdi dalem keluarga sehingga tidak sembarang orang bisa ikut dalam barisan ini. Para perempuannya memakai pakaian lambung - pakaian adat Sasak. Di belakangnya diikuti oleh rombongan penganten dan pengiring serta pendamping penganten perempuan. Lalu rombongan penganten laki-laki.

                Di belakang rombongan penganten ini ada penggembira yang membawa ongsongan (oleh-oleh yang ditempatkan dalam sebuah miniatur rumah) yang dipikul beramai-ramai. Isinya ada buah kelapa dan lain-lain, yang begitu tiba tujuan nyongkol yakni kediaman penganten perempuan, oleh-oleh ini boleh diambil oleh masyarakat di kediaman penganten perempuan. Jadi bukan merupakan hantaran.

                Diikuti dengan pengiring kesenian khas Lombok seperti tawaq-tawaq, gendang beleq, rebana, gamelan, dan lain-lain. Di zaman dulu, ada yang disebut mendakim yakni kelompok perempuan yang menanti rombongan nyongkol di pintu gerbang desa (batas desa memasuki desa mempelai perempuan). Mereka menyiapkan buah-buahan untuk menjamu tamu nyongkol yang datang, semacam ucapan "selamat datang".

                Acara nyongkolan sebenarnya hanya sebentar saja, sekedar mempertemukan penganten perempuan dengan keluarganya setelah itu kembali kerumah penganten laki-laki. Nyongkolan sekaligus berfungsi sebagai pengumuman bahwa kedua mempelai sudah dikukuhkan. Dalam adat Sasak yang asli, pengumuman ini telah berlangsung sejak proses sejati dan selabar. Saat itu ada orang yang khusus membawa gong dalam rombongan kecil. Gong ini akan dipukul di setiap perempatan jalan yang dilalui. Jika orang mendengar ada gong yang dibunyikan, maka secara otomatis masyarakat mengetahui bahwa akan ada yang menikah. Acara nyongkol dilakukan antara waktu Dzuhur dan Ashar.

                Setelah acara nyongkol usai, bukan berarti berakhirlah acara perkawinan adat tersebut, namun masih ada beberapa acara penutupnya. Antara lain, tiga hari atau seminggu kemudian ada yang dinamakan bales ones nain. Acara ini merupakan napak tilas penganten dan rombongan keluarga dekat dalam sebuah ramah-tamah dari laki-laki ke pihak perempuan. Ini merupakan perkenalan lengkap seluruh keluarga besar kedua mempelai. Barulah setelah ini acara adat benar-benar berakhir.
Sumber Tulisan :                 
                        

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

MIDANG DALAM MASYARAKAT ADAT SASAK BAYAN

                Secara umum dalam masyarakat Sasak Lombok memang mengenal midang. Namun tidak demikian dengan masyarakat adat Sasak di Bayan Lombok Utara. Dalam proses perkenalan antara laki-laki dan perempuan dewasa di Bayan, tidak dikenal midang melainkan menggunakan istilah mekedek. Proses untuk mempertemukan anak laki-laki dan perempuan, merupakan ruang peran bagi orang tua dan keluarga.

                Dalam hal perjodohan, orang tualah yang akan berkomunikasi. Sedangkan anak-anak yang hendak dijodohkan, tidak berkomunikasi secara langsung. Dan dalam hal perjodohan ini, baik orang tua masing-masing maupun anak-anak, memiliki seorang kurir yang disebut Subandar. Subandar bertugas untuk menindaklanjuti komunikasi awal yang telah dilakukan antar orang tua. Dialah yang diutus secara khusus - biasanya berasal dari keluarga pihak laki-laki dan diutus oleh pihak laki-laki, untuk membicarakan hal perjodohan itu secara rinci sampai pada adanya kesepakatan untuk menyetujui hubungan anak-anak tersebut.

                Selain itu, Subandar memiliki tugas untuk menjembatani pihak laki-laki dan perempuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam proses perjodohan itu. Dalam tradisi masyarakat adat Sasak Bayan, pernikahan lebih diutamakan antar keluarga dengan maksud untuk tetap menyambung tali kekeluargaan antara orang tua juga anak-anaknya. Karena sisitem kekeluargaan dan kekerabatan tergolong kuat dalam masyarakat adat Bayan.

                Peran Subandar yang diutus oleh pihak keluarga laki-laki ini, terbilang penting. Karena salah satu tugasnya adalah mencari tahu tentang perempuan dan keluarganya yang sedang ditaksir keluarga pihak laki-laki. Menurut tokoh adat Bayan, bisa saja jika Subandar ,mengatakan tidak cocok, maka perjodohan itu bisa gagal.

                Jadi, Subandar- lah yang akan menjembatani komunikasi dan keinginan orang tua laki-laki dan perempuan. Demikian pula komunikasi yang dibangun oleh laki-laki dan perempuan yang dijodohkan tersebut, Subandar-lah yang akan menjadi jembatannya menyampaikan keinginan laki-laki  terhadap perempuan atau sebaliknya. Hal ini dilakukan, karena dalam masyarakat adat Sasak Bayan, antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah, tidak dapat bertemu.

Sumber Tulisan :                 

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.


BUDAYA SASAK : MBAIT (MENCURI PENGANTEN PEREMPUAN)

                Dalam merariq, segala proses yang terjadi dilakukan dengan tata cara adat. Setelah kedua belah pihak yang saling mengenal itu sepakat untuk menikah, maka merariq akan dilakukan. Kesepakatan merariq itu diwujudkan dengan membawa si calon penganten perempuan dengan cara " mencuri" diam-diam, sembunyi-sembunyi, atau dipalingkan dari orang tuanya. Benar-benar tanpa sepengetahuan orang tua ataupun orang tua pura-pura tidak tahu.

                Perempuan harus diambil dari rumahnya atau rumah walinya, tidak boleh diambil dari tempat kerja, di pasar, tidak boleh diambil pada siang hari melainkan pada malam hari, biasanya setelah magrib. Perempuan yang diambil itu haruslah di dampingi oleh perempuan lainnya dan harus ditempatkan di rumah orang lain atau sanak keluarga si laki-laki, tidak boleh di bawa ke rumah si laki-laki. Konsep merariq sesungguhnya merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan bagi hak asasi perempuan Sasak dalam memilih pendamping hidup tanpa intervensi orang tua.

                Bagi dua orang yang sepakat merariq, bisa telah diketahui oleh orang tua si perempuan sebelumnya, bisa juga tidak. Merariq terwujud dengan kesepakatan waktu mbait (mengambil perempuan dari rumah orang tuanya). Waktu mbait juga ditentukan dengan adat, yakni antara waktu Magrib dan Isya, tidak sembarang waktu. Waktu ini dinilai sebagai waktu paling baik untuk mbait. Bagi yang merariq tanpa persetujuan orang tua, maka waktu mbait pun menjadi tantangan tersendiri bagi calon mempelai terutama pihak laki-laki.

                Si perempuan harus pandai-pandai mengalihkan perhatian orang tua dan keluarga di rumah itu agar ia bisa dengan mudah keluar di waktu yang telah disepakati bersama si laki-laki. Demikian pula dengan pihak laki-laki yang biasanya membawa rombongan untuk "mengambil" sang gadis. Bagaimana tidak, rombongan pihak laki-laki harus pandai membaca situasi rumah si perempuan agar dengan aman bisa menjemput si calon penganten perempuan.

                Sama juga dengan midang, mbait juga punya tata cara dan aturan adat serta menjunjung nilai kesopanan. Saat mbait, dalam rombongan si laki-laki, ada sekelompok perempuan yang sudah dewasa yang bertugas menjemput si perempuan dari dalam rumah ataupun halaman rumahnya. Yang menjemput harus dewasa dan telah menikah, tidak boleh yang belum menikah. Si laki-laki dan rombongan lainnya berjaga-jaga di luar halaman rumah. Saat Mbait, ada yang sekali langsung berhasil, ada juga yang harus berkali-kali datang dan selalu gagal. Namun, bagi rombongan pihak laki-laki, ini bukan masalah. Di sinilah letak "seninya" merariq dalam adat Sasak, bagaimana bisa membawa si pujaan hari yang melewati rintangan berat.

                Setelah si calon penganten perempuan berhasil di bawa, maka tidak diperbolehkan membawanya ke rumah si laki-laki calon pengantin. Melainkan dibawa ke rumah keluarga atau kerabat atau kawan dari calon penganten laki-laki. Di sanalah si perempuan ini dititipkan sambil menanti proses berikutnya yakni menanti kesepakatan antara dua keluarga, baik keluarga si perempuan maupun laki-laki.

                Semua aturan adat dalam proses berumah tangga ala Sasak, sarat dengan nilai dan norma yang menjunjung tinggi hak -hak perempuan.

Sumber Tulisan :                 


Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

BUDAYA SASAK: MIDANG

Tradisi Nyongkol di Lombok, hingga kini masih merupakan bagian penting dari pernikahan adat Sasak. Baik di kota maupun di pelosok desa Lombok, nyongkol dapat ditemui. Bahkan, dalam sekali perjalanan di Lombok terutama waktu-waktu tertentu, misalnya hari Minggu, bisa ditemui banyak rombongan nyongkol di desa-desa yang dilalui.

                Tradisi ini masih sangat lekat dengan masyarakat Lombok. Nyongkol merupakan bagian dari prosesi pernikahan adat Sasak (Merariq). Merariq merupakan salah satu tradisi yang tetap dipertahankan oleh masyarakat Sasak secara turun-temurun. Masyarakat suku Sasak memiliki tata cara perkawinan khas yang penuh dengan nilai dan norma-norma.

                Proses perkenalan dalam masyarakat adat Sasak lahir dari proses sosial yang berawal dari sebuah acara adat. Biasanya, jarang masyarakat adat Sasak menaruh ketertarikan khusus pada seseorang karena sebuah perjumpaan yang tidak disengaja, pertemuan sepintas atau lainnya.

                Acara perkenalan ini biasanya menjadi bagian juga dari acara adat Sasak, misalnya dalam persiapan perhelatan perkawinan adat Sasak ataupun pada saat ada yang meninggal. Saat inilah rowah atau begawe itu dilakukan. Pada bagian tertentu dari begawe inilah, diselipkan kegiatan pendekatan bagi para terune atau dedare, baik yang sudah kenal maupun yang belum sama sekali.

                Di Lombok Selatan, dalam rowah pada saat ada yang meninggal, ada acara yang dikenal dengan ngamarin atau ngamer-ngamer (meramaikan untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan). Saat inilah pendekatan itu dilakukan. Sedangkan dalam rowah/begawe perkawinan, acara khusus pendekatan ini dilakukan pada acara jelo jait, menjelang puncak acara. Di saat ini ada acara masak nasi, yang disebut bisoq beras (cuci beras). Saling mendekati dalam masyarakat Sasak, merupakan proses sosial yang dilembagakan secara adat.

                Saat rowah, terune (bujang) dan dedare (gadis) dengan sendirinya berkumpul untuk ikut membantu yang punya hajatan sekaligus datang meramaikan. Terune biasanya membantu pekerjaan-pekerjaan lain yang dibutuhkan selama kegiatan, sedangkan dedare datang untuk ngedang (persiapan untuk acara besok) di dapur.

                Pada saat inilah subandar (perantara) mulai berperan untuk menjodohkan satu dengan yang lain. Proses ini dikawal oleh orang dewasa yang berfungsi sebagai subandar tadi. Jika ada yang saling tertarik, maka subandar-lah yang membuka pembicaraan. Tidak resmi memang, melainkan mengikuti irama kegiatan tersebut.

                Saat ada yang mulai saling tertarik, maka selanjutnya mulai saling menyapa yang dikenal dengan nama endeng api (minta api). Para gadis Sasak datang dalam kegiatan ini dengan berdandan rapi. Saat dedare memasak, maka terune akan datang ke dapur untuk sekedar meminta api baik untuk membakar rokok maupun kebutuhan lain. Saat bertemu dengan yang membuatnya tertarik, maka akan ada komunikasi berupa bahasa simbol yang secara umum dalam masyarakat adat Sasak sudah dipahami bahwa mereka saling tertarik satu sama lain.

                Saat inilah mereka melanjutkan saling melempar pantun di antara hiruk-pikuk dan kesibukan orang menyiapkan konsumsi perhelatan. Akan terlihat kegiatan saling kenal ini seperti sambil lalu saja, padahal hal ini merupakan pranata budaya yang sengaja diciptakan oleh masyarakatnya. Dalam berbalas pantun inilah, dedare akan menguji kecerdasan, ketepatan dan kecepatan terune dalam menjawab pantun dedare. Dimulai dengan satu bait pantun berlanjut hingga bahkan lima bait. Terune diuji sejauh mana ia cepat dan tepat berpikir untuk menyampaikan maksudnya pada si dedare.

                Proses penyatuan dua insan untuk berumah tangga dalam kaca mata adat Sasak, sungguhlah sebuah proses yang agung dan bernilai budaya tinggi. Perempuan Sasak dalam konteks ini berada pada posisi yang sangat terhormat dan mulia dengan posisi tawar yang baik. Tingginya nilai perempuan Sasak dalam hal ini justru sejak proses pendekatan dan saling menjajaki dimulai. yang kemudian berlanjut pada acara yang disebut midang (dalam bahasa kekinian disebut ngapel).

                Midang merupakan sebuah proses pendekatan yang dilakukan oleh seorang laki-laki (terune) dengan datang bertandang ke rumah perempuan (dedare) yang berstatus masih sendiri (belum terikat) untuk bertamu sekaligus saling mengenal satu sama lain.

                Jika dilihat dalam konsep awal perkenalan laki-laki dan perempuan Sasak, dalam hal midang, posisi tawar perempuan Sasak sebelum menikah cukup baik untuk mencegah terjadinya  tindak kekerasan terhadap perempuan. Midang substansinya mencoba saling mengenal satu sama lain ini menempatkan posisi tawar perempuan pada tempat yang baik di mana perempuan yang akan menentukan proses midang tersebut.

                Selama pengenalan awal, bahasa simbol selalu menyertainya, misalkan berupa pantun. Dan dalam pantun tersebut, akan ada sinyal bagi si terune apakah ia diterima untuk midang oleh si dedare. Dalam hal ini, perempuan Sasak memiliki nilai tawar tinggi karena ia bisa menentukan siapa laki-laki yang diperkenankannya untuk datang berkenalan lebih jauh dengan dirinya.

                Pada saat midang berlangsung, perempuan Sasak yang masih sendiri diperkenankan menerima tamu laki-laki lebih dari satu yang tujuannya untuk melakukan pendekatan dan menjajaki kemungkinan untuk menyatukan maksud dalam sebuah ikatan perkawinan.Budaya Sasak mengatur acara midang ini berlangsung secara bermartabat dan menjunjung tinggi norma-norma kesusilaan, kesopanan, hukum, dan agama. Masyarakat Sasak tunduk pada krama adat tentang tata cara, waktu dan tempat midang. Selama midang, laki-laki harus mlinggih, duduk dengan sopan dan menjaga jarak dengan perempuan, bertutur sapa yang santun penuh denga aturan adat istiadat.

                Di awal kedatangannya  untuk midang, terune berpakaian adat Sasak, minimal memakai sapuq (ikat kepala khas Sasak) atau bebat kain pengikat pinggang. Setelah itu, pada pertemuan selanjutnya bisa menggunakan pakaian lainya. Posisi duduk antara laki-laki dan perempuan ketika midang sangat berjauhan, tidak berdekatan, secara otomatis bahasa isyarat, bahasa simbol atau pun bahasa tanda yang lebih banyak difungsikan saat midang berlangsung.

                Saat midang, terune diterima di Bale Tangi (rumah berarsitektur khas Sasak). Selama midang, terune duduk di ujung kiri rumah dan dedare duduk di bawah pintu, tidak boleh berpindah tempat hingga kegiatan midang usai. Biasanya saat midang, akan ada beberapa laki-laki yang menanti giliran. Mereka menanti di luar rumah, jika yang satu sudah lebih dulu masuk untuk bertemu dedare, maka yang lain harus menanti giliran di luar, tidak boleh masuk.

                Antara yang di luar dan di dalam, dua-duanya sudah sama-sama mengerti bahwa ada yang menanti, jadi yang di dalam harus memberikan waktu untuk yang di luar. Demikian sebaliknya, yang di luar tidak boleh mengganggu (masuk) sebelum yang di dalam keluar. Semacam ada kesepakatan tidak resmi namun sangat dipatuhi. Ada kode khusus yang diberikan ketika pergantian itu berlangsung, berupa bahasa-bahasa simbolik untuk meminta yang di dalam keluar atau yang di luar masuk. Persaingan yang terjadi sangat fair dan beretika. Setiap laki-laki Sasak berhak melakukan kompetisi untuk mendapatkan perempuan tersebut.

                Selama midang inilah, terune dan dedare saling mengenal dan menjajaki lebih jauh satu sama lain. Dalam proses ini, perempuanlah yang menentukan siapakah laki-laki yang dipilihnya nanti. Jika ketertarikan itu telah ada, laki-laki belum sepenuhnya tahu apakah ia diterima oleh si dedare, karena bahasa-bahasa yang digunakan selama midang adalah bahasa simbolik saja. Maka untuk memastikan dirinya diterima atau ditolak, pada saat ada acara-acara penting seperti lebaran atau Maulud Nabi Muhammad SAW yang di Lombok dirayakan secara meriah, terune akan bertandang ke rumah dedare dengan membawa pengumbuk/pereweh (oleh-oleh)

                Oleh-oleh ini tidak dilihat dari nilai materinya melainkan sebagai simbol saja.  Jika oleh-oleh diterima, maka si terune memiliki peluang untuk terus bersama si dedare alias diterima. Jika tidak diterima, si dedare juga akan menyampaikannya dengan baik tentang penolakannya itu. Lagi-lagi perempuan Sasak, berhak menentukan siapa yang dipilihnya dari banyak laki-laki yang midang.

                Saat proses midang, orang tua juga mulai melihat laki-laki yang mendekati anak gadisnya. Jika ada terune yang juga disukai oleh orang tua, biasanya orang tua mulai mencari tahu tentang si terune tersebut. Salah satunya, orang tua memberi isyarat pada laki-laki tersebut dengan menyuruhnya melakukan sesuatu yang bersifat membantu orang tua. Restu orang tua pun dikatakan dengan cara simbolik.

                Pada masyarakat pendukung Bau Nyale, restu orang tua dari dedare pada si terune ini diwujudkan  dengan mengajaknya ke acara Bau Nyale ini. Bau Nyale adalah tradisi masyarakat Sasak menangkap Nyale (cacing) yang keluar di pesisir pantai di Lombok bagian selatan pada saat tertentu yang dipercaya  sebagai jelmaan Putri Mandalika dalam legenda masyarakat Sasak. Kalau sudah diajak ke Bau Nyale, maka ini berarti pengumuman kepada publik bahwa si terune telah dipilih oleh orang tua si dedare. Ini dikenal dengan istilah Mangan Besedi.

                Namun, bukan berarti si dedare juga sepakat dengan orang tua. Dedare memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan pilihan sesuai dengan keinginannya. Jika pilihan si dedare tidak disetujui orang tua maka bisa saja terjadi hubungan rahasia.


                Setelah kesepakatan-kesepakatan dicapai antara dua pihak dari perkenalan ini, maka penyatuan dalam sebuah ikatan pernikahan bisa berlanjut. Keunikan konsep pernikahan adat Sasak yang dikenal dengan merariq dimulai. Merariq tidak dilihat sebagai sebuah kata, tetapi istilah merariq diartikan sebuah sistem dan tidak bisa diterjemahkan setengah-setengah.

Sumber Tulisan :

Naniek I. Taufan.(2011).Tradisi dalam Siklus Hidup Masyarakat Sasak, Samawa dan Mbojo. Penerbit: Museum Kebudayaan Samparaja Bima. Bima.

SEJARAH NUSA TENGGARA BARAT (6)

                                                                                   
PERIODE KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

            Penataan administrasi wilayah Indonesia mulai dilakukan setelah proklamasi kemerdekaan RI, dengan membentuk delapan provinsi yaitu Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara, Kalimantan, sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Sunda Kecil. Pada setiap provinsi diangkatlah seorang Gubernur untuk memimpin masing-masing wilayah Provinsi. Untuk provinsi Kepulauan Sunda Kecil diangkatlah Mr. I Goesti Ketut Poedja sebagai Gubernur pertama. Walaupun pengangkatan seorang Gubernur di Provinsi Sunda Kecil telah dilakukan dan Sultan Sumbawa menyatakan tetap bersimpati kepada Republik Indonesia, serta di Bima para pendukung kemerdekaan berkumpul dan menyatakan bersumpah setia kepada cita-cita kebangsaan, namun Belanda tidak mau menerima kenyataan dan tetap menyatakan bahwa wilayah tersebut masih dalam kekuasaannya.

            Keinginan Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di bagian timur hindia Belanda menyebabkan munculnya konflik di mana-mana. Karena konflik yang berkepanjangan akhirnya diputuskan untuk menyelenggarakan  Konferensi Malino tanggal 15 - 25 Juli 1946 yang dihadiri Wakil Nasionalis dari Sumbawa, Muhammad Kaharoeddin (Sultan Sumbawa), Muhammad Salahoeddin (Sultan Bima), Oemboe Toenggoe Bili (Zelfbestuurder dari Memboro/Sumba), J. Th. Ximenes de Silva (Zelfbestuurder dari Sikka/Flores), Bapa Kajah dari Endeh, H.A. Koroh (zelfbestuurder dari Amarasi/Timor) dan Doko dari Timor. Dalam Konferensi Malino tersebut diputuskan pemimpin tradisional (raja) dan pemerintah Belanda berusaha menyatukan Residentie Timor dan daerah sekitarnya dengan Bali, Lombok, dan Pulau Selatan Daya. Disamping itu, pemerintah Belanda menyatakan bahwa Kepulauan Sunda Kecil akan digabungkan dengan Timur Besar untuk membentuk satu atau lebih federasi yang dapat dipimpin Kepulauan Sunda Kecil.

            Oleh karena belum ditemukannya kesepakatan dalam Konferensi Malino, selanjutnya dilaksanakan Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946. Konferensi ini dituntut untuk mengesahkan Undang-Undang yang menyetujui Perjanjian Linggarjati yang telah dilaksanakan pada tanggal 15 November 1946, yang di dalamnya diletakkan pembentukan Negara Timur Besar. Para wakil dari Timor, Flores, Sumba, dan Sumbawa menuntut penggabungan ke dalam satu daerah administrasi. Mereka sepakat dengan sultan yang lain (dari Bima dan Dompu) untuk menggabungkan diri dalam satu wilayah otonom dan dalam Negara Timur Besar yang memiliki hubungan federal dengan Negara Indonesia Serikat (NIS). Dalam Konferensi Denpasar dijelaskan bahwa daerah ini untuk sementara diorganisir sebagai Negara Indonesia Timur (NIT), yang semua bernama Negara Timur Besar yang didirikan pada 24 Desember 1946.

            Berdasarkan hasil dari Konferensi Denpasar tersebut dan dikuatkan dengan Staatsblad No.143 Tahun 1946, dinyatakan ada 13 daerah yang termasuk dalam Negara Indonesia Timur, yakni Sulawesi Selatan, Minahasa, Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Kepulauan Sangihe Talaud, Maluku Utara, Maluku Selatan, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor, beserta pulau-pulau sekitarnya. Untuk daerah Sumbawa meliputi tiga landschappen yaitu, Bima, Dompu, dan Sumbawa. Sedangkan Lombok merupakan neolandschappen berdasarkan Staatsblad no.15 tahun 1947.

            Dengan terbentuknya Negara Indonesia Timur, wilayah Sunda Kecil termasuk di dalamnya Nusa Tenggara Barat menjadi salah satu negara bagian Negara Indonesia Timur. Keadaan ini berlangsung sampai dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan Piagam Pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949. Namun dalam perkembangannya, para elite Timor dan sekitarnya pada awal tahun 1950 mengusulkan dan mendesak kepada Republik Indonesia (RI) untuk menyatukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan RI. Pernyataan tersebut didukung oleh Dewan Raja-Raja dan Dewan - Dewan rakyat lainnya, partai-partai politik dan organisasi pergerakan di Sumbawa. Pada tanggal 9 Mei 1950 terbit pernyataan keluar dari Negara Indonesia Timur (NIT) dan menggabungkan diri dengan Pemerintahan RI. Demikian juga dengan Lombok yang menyatakan meleburkan diri dalam wilayah RI yang pada saat itu berpusat di Yogyakarta.

            Sesudah beberapa kali melaksanakan pembicaraan antar negara bagian dalam Pemerintah RIS, akhirnya dicapai kesepakatan tanggal 19 Mei 1950 untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Status Provinsi Kepulauan Sunda Kecil diaktifkan kembali.

            Pada tahun 1954 terbit Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1954, yang merubah wilayah Provinsi Sunda Kecil menjadi Nusa Tenggara yang dibagi ke dalam tiga daerah Swatantra Tingkat I, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa dan Lombok) dan Nusa Tenggara Timur (Timor, Flores dan Sumba).

            Tahun 1957 terjadi lagi perubahan seiring dengan terbitnya Undang-Undang No.1 Tahun 1957, yang membagi wilayah Nusa Tenggara menjadi tiga provinsi, yaitu Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Undang-Undang inilah yang menjadi dasar pembentukan Provinsi Nusa Tenggara Barat sekarang.

            Kemudian sesuai dengan Ketentuan Undang-Undang No.18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, daerah Swatantra Tingkat I Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu, Daerah Swatantra Tingkat II dirubah menjadi kabupaten yang masing-masing dilengkapi dengan parlemen (DPR-GR) dan kepala daerah.

Sumber Tulisan :

Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia

SEJARAH NUSA TENGGARA BARAT (5)

PERIODE PENDUDUKAN JEPANG

                Pada tanggal 8 Maret 1942, pihak Belanda menyerah kepada Jepang. Pada saat itulah Jepang mulai masuk ke Nusa Tenggara Barat melalui kegiatan pelatihan pemuda dengan dikerahkannya para pemuda untuk menjadi Seinendan, Keibodan dan Heiho pada tanggal 17 Juli 1942. Hal ini dilakukan oleh Jepang untuk keperluan pertahanan dan keamanan dalam menghadapi tentara sekutu yang mulai menyerang wilayah Nusa Tenggara Barat sekitar bulan April 1943 di bawah pimpinan serdadu Australia. Di samping itu, rakyat setempat dikerahkan sebagai romusha di pusat-pusat pembangunan pertahanan Jepang dengan dalih untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya, dan di perusahaan pemintalan dalam rangka menggiatkan produksi kapas. Semua itu dijalani oleh rakyat dengan keadaan terpaksa, karena mereka tidak ada jalan lain, kecuali bekerjasama denga Jepang untuk membantu dalam Perang Asia Timur Raya.

                Di sisi lain, kedatangan Jepang dimanfaatkan oleh rakyat untuk memperluas dan memperkuat perlawanan terhadap Belanda. Belanda kemudian mundur ke Sumbawa Besar dan selanjutnya ke Lombok. Peperangan tersebut didukung oleh Sultan Muhammad Salahuddin, Raja ke - 14 dari Kerajaan Bima. Selanjutnya, Sultan Sumbawa, Mohammad Kaharoeddin, memerintahkan untuk menangkapi sisa pasukan Belanda yang masih berada di Sumbawa. Mereka ditahan oleh Sultan Sumbawa dan diserahkan kepada tentara Jepang, yang selanjutnya membawa para tawanan ke Makassar.

                Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, wilayah administratif yang semula disebut afdeling diubah namanya menjadi Ken. Karesidenan Timor dan daerah sekitarnya dimasukkan dalam Syoo Sunda Syu (Wilayah Sunda Kecil), yang diatur oleh Minsefu Cokan (armada selatan ke-2) di Singaraja, Bali, dan dibagi dalam empat Ken, yaitu Timor Ken, Flores Ken, Sumba Ken, dan Sumbawa Ken. Setiap Ken dipimpin oleh Ken Kan Kanrikan. Setiap Ken terdiri dari beberapa Binken (onderafdeling) yang dipimpin oleh Bunken Kanrikan, di bawahnya adalah Gunco atau Soco, yang kebanyakan adalah Raja.

                Pada tahun  1944, Jepang merubah struktur administrasi pemerintah di bagian timur hindia Belanda, dengan memisahkan Timor dan daerah sekitarnya dari De Groote Oost untuk dibentuk menjadi wilayah sendiri yaitu Provinsi Sunda Kecil. Dengan demikian wilayah Nusa Tenggara Barat menjadi bagian dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil.

                Upaya pertahanan dan keamanan terhadap tentara sekutu tersebut tidak banyak berarti, karena pada tahun 1945, angkatan udara Australia mengebom instalasi-instalasi militer Jepang di Bima. Di samping itu, mereka juga menyebarkan pamplet dalam bahasa Melayu, dan Inggris yang isinya propaganda  untuk menegakkan kembali pemerintahan Sultan Bima di wilayah Timur Hindia Belanda.


                Dalam peperangan melawan tentara sekutu, Jepang banyak mengalami kekalahan. Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, membuat Jepang bertekuk lutut dan menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Kesempatan ini dipergunakan Soekarno-Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Sumber Tulisan :

Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia

SEJARAH NUSA TENGGARA BARAT (4)

PERIODE PERGERAKAN NASIONAL
                Perkembangan organisasi politik di Nusa Tenggara Barat bersamaan dengan perkembangan gerakan nasional di pulau Jawa. Pada awal abad ke-20, di Jawa mulai terbentuk organisasi politik modern, yang membawa pengaruh sampai di Nusa Tenggara Barat. Gerakan Budi utomo yang didirikan pada tahun 1908 sebagai organisasi modern di masa itu, telah tumbuh dan berkembang dalam mempropagandakan tujuannya.

                Pada tahun 1916, pemerintah kolonial Belanda membagi Residentie Timor en Onderhoorigheden menjadi lima afdeling. Pembagian ini didasarkan pada keputusan gubernur jendral hindia Belanda no.331 Tahun 1916 tgl.13 April 1916. Adapun lima afdeling tersebut adalah :

1. Afdeling Timor Selatan dengan pulau-pulau disekitarnya;
2. Afdeling Timor Utara dan Tengah di bagi dalam lima onderafdeling;
3. Afdeling Flores dibagi dalam tujuh onderafdeling;
4. Afdeling Sumba dibagi dalam empat onderafdeling;
5. Afdeling Sumbawa dibagi dalam tiga onderafedeling.

                Sementara itu, upaya untuk mendirikan pergerakan nasional terus meningkat. Keadaan ini membuat Raden Mas Soetatmo dan Prang Wedono dengan ide pendirian cabang Budi Utomo di Bali Selatan tahun 1918.

                Tahun 1920, terjadi lagi perubahan pembagian wilayah Nusa Tenggara Barat, menjadi empat afdeling, yaitu Timor, Flores, Sumbawa dan Sumba, yang secara keseluruhan membawahi enam belas onderafdeling. Dengan pembaharuan tersebut, kedudukan Asisten Residen Afdeling Timor berada di Kupang, Flores di Ende, Sumbawa di Bima dan Sumba di Waingapu.

                Dalam konferensi Budi Utomo cabang Nusa Tenggara Barat tanggal 28 Febuari 1922, dibahas mengenai gagasan sebuah persatuan daerah Kepulauan Sunda Kecil dengan Bali dan Lombok. Namun usaha tersebut menemui jalan buntu karena dihalangi oleh Residen Bali, yang secara tersirat menghalangi pengaruh kaum nasionalis dan memisahkan Bali dengan Jawa.

                Tahun 1936, di Bima terbentuk perkumpulan Angkatan Demokrasi Loehoer (ADIL) yang dipimpin oleh Moehammad Noer Soelaiman. Tujuan organisasi ini adalah penghapusan kelas dan perbedaan lapisan dalam masyarakat Bima dan pendirian masyarakat bernegara berdasarkan asas demokrasi.

                Tahun 1937 di Bima dibentuk pula Cabang Muhammadiyah yang dipelopori oleh Idris M. Jafar, A.D Talu dan M. Hasan. Organisasi ini berhubungan erat dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, dengan fokus perhatian pada usaha-usaha pendidikan dan memajukan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan tujuan dari organisasi Muhammadiyah, tahun 1938 di Bima dibentuk Perhimpunan Islam Bima (PIB) yang dipelopori oleh H. Sulaiman dan H. Usman Abidin. Dalam perkembangannya, organisasi tersebut kemudian berintegrasi ke dalam Nahdlatul Ulama (NU) cabang Bima. Organisasi ini merupakan Cabang dari NU yang didirikan oleh Kyai Haji Wahab Chasbullah dengan dukungan Kyai Haji Hasjim Asjari, dengan tujuan untuk membela kaum muslimin tradisional.

Sumber Tulisan :

Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia

SEJARAH NUSA TENGGARA BARAT (3)

PERIODE KOLONIAL

            Bangsa Eropa yang datang pertama kali ke tanah Nusa Tenggara adalah Portugis yang mendarat di Pulau Solor dan Timor tahun 1605. Pada saat yang sama bangsa Belanda juga datang ke Pulau Hitu dan Ambon di Maluku, dan akhirnya Ter Ver kapal Belanda pertama juga berlabuh di Kupang tahun 1611. Kedatangan bangsa Belanda mengakibatkan perselisihan yang panjang antara bangsa Portugis dan Belanda di Nusa Tenggara. Bangsa Belanda memberikan bantuan kepada raja-raja lokal yang menyalakan api perlawanan kepada bangsa Portugis. Belanda kemudian memperluas pengaruhnya di Nusa Tenggara, dengan melakukan berbagai perjanjian dengan raja-raja kecil di sekitar Pulau Sumbawa.

            Penetrasi pemerintahan kolonial Belanda yang begitu kuat di Indonesia semakin lama semakin membawa dampak nyata bagi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia pada umumnya. Salah satu akibat yang sangat luas, di bagian timur Indonesia adalah surutnya supremasi kekuasaan Kerajaan Gowa di Makassar pada akhir abad ke-17. Kaum bangsawan Gowa yang tidak mau tunduk kepada pemerintah kolonial menyingkir dari Makassar dan membangun kantong-kantong perlawanan di Nusa Tenggara Barat. Untuk menghadapi perlawanan tersebut, pemerintah kolonial mulai mengkonsentrasikan kekuasaan di wilayah Nusa Tenggara Barat. Hal ini diperkuat lagi dengan munculnya Lombok sebagai lalu lintas perdagangan internasional, sehingga keinginan Belanda untuk menguasai Nusa Tenggara Barat secara langsung semakin nyata.

            Menghadapi situasi yang demikian itu, pemerintah kolonial Belanda mengutus Stephen van Hegen untuk melihat dari dekat situasi Bima tahun 1660. Kedatangan orang Belanda tersebut mempengaruhi keadaan politik dan ekonomi di daerah ini. Pada tahun 1669, Kerajaan Bima di bawah Pemerintahan Sultan Ambela Abdul Khair Sirajuddin (1640 - 1682) atau Sultan Bima ke - 2, mengadakan ikatan perdamaian dan persahabatan dengan pemerintah kolonial dengan isi perjanjian seperti berikut:
1. Kesultanan Bima dan Dompu tidak akan menyerang Makassar
2. Untuk mempertahankan perdamaian, hanya anggota kompeni yang boleh mengunjungi wilayah Bima
3. Bima dan Makassar tidak akan mengadakan kontak sama sekali
4. Para padagang asing dari Eropa, India, Jawa, Malaya, Arab, Aceh, dan Champa tidak boleh mengadakan perdagangan dengan Bima, kecuali mendapat ijin khusus dari kompeni
5. Apabila hendak melakukan penyebaran agama Kristen harus minta ijin kepada Kesultanan Bima dan Dompu

            Dengan perjanjian tersebut Sultan Bima dan Dompu harus mengakui keberadaan kolonial Belanda. Sejak saat itu, Belanda berusaha mengkonsolidasi pengawasannya dengan cara memblokir pelabuhan Bima untuk mencegah datangnya bantuan dari Makassar atau dari negara asing lainnya. Usaha itu dilakukan agar pelabuhan yang ada di Bima dan juga di Pulau Lombok yang dianggap strategis tidak jatuh ke tangan Inggris.

            Supremasi kekuasaan Belanda yang sangat kuat tersebut, menyebabkan raja dan masyarakat di wilayah tersebut tidak dapat leluasa bergerak. Keadaan itu menjadi lebih parah lagi dengan meletusnya Gunung Tambora pada 5 April 1815, yang menggoncangkan seluruh kawasan tersebut dan akibatnya bisa dirasakan di seluruh Maluku, Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Meletusnya gunung Tambora ini mengakibatkan lenyapnya dua kerajaan, yaitu Tambora dan Papekat. Lebih dari 10.000 orang tewas. Lenyapnya dua kerajaan tersebut yang bersamaan dengan hancurnya lingkungan di sekitarnya berakibat pula pada hancurnya pranata sosial, penderitaan, dan kemiskinan masyarakat secara umum yang berkepanjangan.

            Dalam rangka memperbaiki keadaan tersebut, Sultan Bima ke-11, Sultan Abdullah (1854-1868), mengakui eksistensi pemerintah Belanda secara formal pada tanggal 19 November 1857, melalui perjanjian Plakat Panjang. Demikian juga dengan raja-raja di Sumbawa. Walaupun masih dapat menjalankan pemerintahan, tetapi kedaulatan dan kedudukan para raja serta perangkat pemerintahannya tidak dapat dilaksanakan secara penuh. Segala keputusan yang akan dijalankan terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari wakil pemerintah Belanda di wilayah tersebut.

            Perjanjian Plakat Panjang tersebut berisi tiga hal penting, yaitu sebagai berikut :
1. Kesultanan Bima ditetapkan sebagai bagian dari pemerintahan hindia Belanda
2. Dilarang mempunyai hubungan dengan kekuasaan asing lainnya tanpa ijin pemerintah hindia Belanda
3. Pihak pemerintah hindia Belanda mempunyai kewenangan atas pajak dan memikul semua hak dan kewajiban pemerintahan.

            Pada akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda memasukkan Residentie Timor en Onderhoorigheden (Karesidenan Timor dan sekitarnya) dan Residentie Celebes en Onderhoorig-heden (Karesidenan Sulawesi dan sekitarnya) ke dalam satu wilayah yang disebut de Gouvernement van Groote Oost (Pemerintahan Timur Besar). Pada waktu itu, Residentie van Timor en Onderhoorigheden terdiri atas Timor, Flores dan Sumba. Sedangkan Sumbawa masuk ke dalam wilayah Residentie Celebes en Onderhoorigheden. Sementara itu Lombok masuk ke dalam wilayah Residentie Bali en Lombok (Karesidenan Bali dan Lombok). Hal itu terjadi, ketika perlawanan masyarakat dan Kerajaan Mataram di Lombok dapat diredakan Belanda tahun 1894 ( artinya diperlukan waktu 224 tahun bagi Belanda sejak kedatangannya untuk menguasai Lombok, Sumbawa dan Bima )

            Setelah perang selesai Belanda menetapkan suatu bentuk pemerintahan yang baru di Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan Staatsblad No.181 Tahun 1895, tanggal 31 Agustus 1895, Pulau Lombok dijadikan satu wilayah afdeling tersendiri ibukotanya Ampenan. Dalam perkembangannya disebutkan bahwa berdasarkan keputusan gubernur jendral no. 19 tanggal 27 Agustus 1898, Lombok dibagi menjadi tiga onderafdeling, yaitu Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur.

            Pada tahun 1903, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Decentralisatiewet (Undang-undang Desentralisasi) yang memberikan kewenangan kepada daerah-daerah untuk mempunyai pemerintahan sendiri. Pada saat pembagian wilayah administratif di Nusa Tenggara Barat berlangsung, muncul gerakan -gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan Belanda di wilayah itu. Perlawanan rakyat itu merupakan reaksi terhadap kehendak Belanda yang memaksakan rakyat untuk membayar pajak yang sangat membebani rakyat. Pada akhirnya terjadilah perang antara pihak rakyat setempat dengan Belanda. Adapun peperangan yang pernah dikobarkan rakyat di wilayah tersebut adalah Perang Undru di Taliwang Sumbawa tahun 1906, Perang Baham di Lunyuk Sumbawa tahun 1907, Perang Dena Bima tahun 1907, Perang Donggo Bima tahun 1907-1909, Perang Ngali Bima tahun 1908. Memang perlawanan-perlawanan rakyat yang tidak seimbang tersebut berhasil dipatahkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan persenjataannya yang lebih lengkap. Namun, semangat tak takut mati dan tak kenal menyerah para pahlawan terus hidup dalam sanubari rakyat NTB.

            Keberhasilan aksi militer yang dilancarkan di wilayah tersebut, menyebabkan Sumbawa  pada tahun 1909 dimasukkan ke dalam Residentie Timor en Onderhoorigheden. Berdasarkan keputusan gubernur jendral hindia Belanda no. 48 tahun 1909, tanggal 11 Febuari 1909 sebagaimana diumumkan dalam staasblad no.129 tahun 1909 dalam besluit tersebut dinyatakan bahwa Pulau Sumbawa dan bagian Barat Flores (Manggarai) masuk ke dalam afdeling Bima dipisahkan dari Residentie Celebes en Onderhoorigheden dan menjadi bagian dari Residentie Timor en Onderhoorigheden. Perjanjian ini ditandatangai di Bima oleh Bestuurder Bima, Ibrahim dan dari pihak Belanda, Alexander Johan Baron Quarles de Quarles. Disamping itu, Alexander Johan Baron Quarles de Quarles menandatangani juga perjanjian di Sumbawa dengan bestuurder Sumbawa, Muhammad Djalaloeddin. Sementara itu, di Dompu dilaksanakan perjanjian pula antara Gezaghebber sipil dari Bima Albert Adolf Banse dengan bestuurder Dompu, Siradjoeddin.

            Dengan perjanjian tersebut Residentie van Timor en Onderhoorigheden terdiri atas tiga afdeling, yaitu afdeling Timor dan pulau sekitarnya, afdeling Bima, afdeling Sumba dan Flores. Ketiga afdeling terdiri atas lima belas onderafdeling yang tersebar di banyak pulau. Otoritas di pulau-pulau iti dipegang oleh pemimpin lokal, yang bergelar Radja.

Sumber Tulisan :

Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia

SEJARAH NUSA TENGGARA BARAT (2)

PERIODE AWAL PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM

            Pada awal pemerintahan raja-raja di Nusa Tenggara Barat, pengaruh agama Hindu sangat kuat. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh ekspansi kerajaan Majapahit ke wilayah itu. Namun dengan runtuhnya kerajaan Majapahit menjadikan pengaruh agama Hindu mulai berkurang seiring dengan mulainya pengaruh agama Islam di kalangan masyarakat pesisir. Munculnya kerajaan Demak di Jawa Tengah membawa pengaruh besar pada meluasnya ajaran agama Islam di Nusa Tenggara Barat. Pengaruh agama Islam di wilayah Nusa Tenggara Barat ini pada umumnya dibawa oleh orang Melayu.

            Pengaruh agama Islam di Bima ini tidak bisa dilepaskan dari dukungan Raja I Maliingkaang Daeng-Mannyonriq (1570-1636) dari Makassar, yang kemudian dikenal dengan nama Karaeng Matoaya yang memegang peranan penting dalam penyebaran agama Islam di wilayah itu. Pengaruh agama Islam dalam kerajaan Bima ini mulai muncul sejak pemerintahan Raja Manuru Salehi sekitar tahun 1605 dan mulai berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Abdul Kahir (1620-1640).

            Raja Abdul Kahir disebut juga sebagai Sultan Bima I, karena beliau adalah raja yang pertama kali memeluk agama Islam di Bima, sehingga dianggap sebagai pemisah dengan raja Bima sebelumnya yang menganut agama Hindu. Agama Islam kemudian menjadi agama resmi raja-raja di Nusa Tenggara Barat.

Sumber Tulisan :

Tim Arsip Nasional Republik Indonesia.(2006). Citra Nusa Tenggara Barat Dalam Arsip. Kerjasama Badan Arsip Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan Arsip Nasional Republik Indonesia